Sembah puji dari hamba yang hina ini ke bawah
telapak kaki sang pelindung jagat. Raja yang senantiasa tenang tenggelam dalam
samadi, raja segala raja, pelindung orang miskin, mengatur segala isi negara.
Sang dewa-raja, lebih diagungkan dari yang segala manusia, dewa yang tampak di
atas tanah. Merata, serta mengatasi segala rakyatnya, nirguna bagi kaum
Wisnawa, Iswara bagi Yogi, Purusa bagi Kapila, hartawan bagi Jambala, Wagindra
dalam segala ilmu, dewa Asmara di dalam cinta berahi. Dewa Yama di dalam menghilangkan
penghalang dan menjamin damai dunia.
Demikianlah pujian pujangga sebelum menggubah
sejarah raja, kepada Sri Nata Rajasa Nagara, raja Wilwatikta yang sedang
memegang tampuk tahta. Bagai titisan Dewa-Batara beliau menyapu duka rakyat
semua. Tunduk setia segenap bumi Jawa bahkan seluruh nusantara. Pada tahun 1256
Saka, beliau lahir untuk jadi pemimpin dunia. Selama dalam kandungan di
Kahuripan telah tampak tanda keluhuran. Bumi gonjang-ganjing, asap
mengepul-ngepul, hujan abu, guruh halilintar menyambar-nyambar. Gunung Kelud
gemuruh membunuh durjana, penjahat musnah dari negara. Itulah tanda bahwa
Sanghyang Siwa sedang menjelma bagai raja besar. Terbukti, selama bertakhta
seluruh tanah Jawa tunduk menadah perintahnya. Wipra, satria, waisya, sudra, keempat
kasta sempurna dalam pengabdian. Durjana berhenti berbuat jahat takut akan
keberanian Sri Nata. Sang Sri Padukapatni yang ternama adalah nenek Sri Paduka.
Seperti titisan Parama Bagawati memayungi jagat raya. Selaku wikuni tua tekun
berlatih yoga menyembah Buda. Tahun 1272 kembali beliau ke Budaloka. Ketika Sri
Padukapatni pulang ke Jinapada dunia berkabung. Kembali gembira bersembah bakti
semenjak Sri Paduka mendaki takhta. Girang ibunda Tri Buwana Wijaya Tungga Dewi
mengemban takhta bagai rani di Jiwana resmi mewakili Sri Narendraputra.
Beliau bersembah bakti kepada ibunda Sri
Padukapatni. Setia mengikuti ajaran Buda, menyekar yang telah mangkat. Ayahanda
Sri Paduka Prabu ialah Prabu Kerta Wardana. Keduanya teguh beriman Buda demi
perdamaian praja. Paduka Prabu Kerta Wardana bersemayam di Singasari. Bagai
Ratnasambawa menambah kesejahteraan bersama. Teguh tawakal memajukan kemakmuran
rakyat dan negara. Mahir mengemudikan perdata bijak dalam segala kerja. Putri
Rajadewi Maharajasa, ternama rupawan. Bertakhta di Daha, cantik tak bertara,
bersandar enam guna. Adalah bibi Sri Paduka, adik maharani di Jiwana. Rani Daha
dan rani Jiwana bagai bidadari kembar.
Laki sang rani Sri Wijayarajasa dari negeri
Wengker. Rupawan bagai titisan Upendra, mashur bagai sarjana. Setara raja
Singasari, sama teguh di dalam agama. Sangat mashurlah nama beliau di seluruh
tanah Jawa. Adinda Sri Paduka Prabu di Wilwatikta : Putri jelita bersemayam di
Lasem. Putri jelita Daha cantik ternama. Indudewi putri Wijayarajasa. Dan lagi
putri bungsu Kerta Wardana. Bertakhta di Pajang, cantik tidak bertara. Putri
Sri Baginda Jiwana yang mashur. Terkenal sebagai adinda Sri Paduka. Telah dinobatkan
sebagai raja tepat menurut rencana. Laki tangkas rani Lasem bagai raja daerah
Matahun. Bergelar Rajasa Wardana sangat bagus lagi putus dalam daya raja dan
rani terpuji laksana Asmara dengan Pinggala. Sri Singa Wardana, rupawan, bagus,
muda, sopan dan perwira bergelar raja Paguhan, beliaulah suami rani Pajang.
Mulia pernikahannya laksana Sanatkumara dan dewi Ida. Bakti kepada raja, cinta
sesama, membuat puas rakyat. Bre Lasem menurunkan putri jelita Nagarawardani
Bersemayam sebagai permaisuri Pangeran Wirabumi. Rani Pajang menurunkan Bre
Mataram Sri Wikrama Wardana bagaikan titisan Hyang Kumara, wakil utama Sri
Narendra.
Putri bungsu rani Pajang memerintah daerah
Pawanuhan. Berjuluk Surawardani masih muda indah laksana lukisan. Para raja
pulau Jawa masing-masing mempunyai negara. Dan Wilwatikta tempat mereka bersama
menghamba Srinata. Melambung kidung merdu pujian Sang Prabu, beliau membunuh
musuh-musuh. Bak matahari menghembus kabut, menghimpun negara di dalam kuasa.
Girang janma utama bagai bunga kalpika, musnah durjana bagai kumuda. Dari semua
desa di wilayah negara pajak mengalir bagai air. Raja menghapus duka si murba
sebagai Satamanyu menghujani bumi. Menghukum penjahat bagai dewa Yama, menimbun
harta bagaikan Waruna. Para telik masuk menembus segala tempat laksana Hyang
Batara Bayu. Menjaga pura sebagai dewi Pretiwi, rupanya bagus seperti bulan.
Seolah-olah Sang Hyang Kama menjelma, tertarik oleh keindahan pura. Semua para
putri dan isteri sibiran dahi Sri Ratih. Namun sang permaisuri, keturunan Wijayarajasa,
tetap paling cantik paling jelita bagaikan Susumna, memang pantas jadi imbangan
Sri Paduka.
Berputralah beliau putri mahkota Kusuma Wardani,
sangat cantik rupawan jelita mata, lengkung lampai, bersemayam di Kabalan. Sang
menantu Sri Wikrama Wardana memegang hakim perdata seluruh negara. Sebagai
dewa-dewi mereka bertemu tangan, menggirangkan pandang. Tersebut keajaiban kota
: tembok batu merah, tebal tinggi, mengitari pura. Pintu barat bernama Pura
Waktra, menghadap ke lapangan luas, bersabuk parit. Pohon brahmastana berkaki
bodi berjajar panjang, rapi berbentuk aneka ragam. Di situlah tempat tunggu
para tanda terus menerus meronda jaga paseban. Di sebelah utara bertegak gapura
permai dengan pintu besi penuh berukir. Di sebelah timur : panggung luhur,
lantainya berlapis batu putih-putih mengkilat. Di bagian utara, di selatan
pekan rumah berjejal jauh memanjang sangat indah.
Di selatan jalan perempat : balai prajurit tempat
pertemuan tiap Caitra. Balai agung Manguntur dengan balai Witana di tengah, menghadap
padang watangan. Yang meluas ke empat arah, bagian utara paseban pujangga dan
Mahamantri Agung. Bagian timur paseban pendeta Siwa-Buda yang bertugas membahas
upacara. Pada masa grehana bulan Palguna demi keselamatan seluruh dunia. Di
sebelah timur pahoman berkelompok tiga-tiga mengitari kuil Siwa. Di selatan
tempat tinggal wipra utama tinggi bertingkat menghadap panggung korban.
Bertegak di halaman sebelah barat, di utara tempat Buda bersusun tiga.
Puncaknya penuh berukir, berhamburan bunga waktu raja turun berkorban. Di
dalam, sebelah selatan Manguntur tersekat dengan pintu, itulah paseban. Rumah
bagus berjajar mengapit jalan ke barat, disela tanjung berbunga lebat. Agak
jauh di sebelah barat daya: panggung tempat berkeliaran para perwira. Tepat di
tengah-tengah halaman bertegak mandapa penuh burung ramai berkicau. Di dalam di
selatan ada lagi paseban memanjang ke pintu keluar pura yang kedua.
Dibuat bertingkat tangga, tersekat-sekat,
masing-masing berpintu sendiri. Semua balai bertulang kuat bertiang kokoh,
papan rusuknya tiada tercela. Para prajurit silih berganti, bergilir menjaga
pintu, sambil bertukar tutur. Inilah para penghadap : pengalasan Ngaran,
jumlahnya tak terbilang, Nyu Gading Jenggala-Kediri, Panglarang, Rajadewi,
tanpa upama. Waisangka kapanewon Sinelir, para perwira Jayengprang, Jayagung
dan utusan Pareyok Kayu Apu, orang Gajahan dan banyak lagi. Begini keindahan
lapangan watangan luas bagaikan tak berbatas. Mahamantri Agung, bangsawan,
pembantu raja di Jawa, di deret paling muka. Bayangkari tingkat tinggi berjejal
menyusul di deret yang kedua. Di sebelah utara pintu istana di selatan satria
dan pujangga. Di bagian barat : beberapa balai memanjang sampai mercudesa.
Penuh sesak pegawai dan pembantu serta para perwira
penjaga. Di bagian selatan agak jauh: beberapa ruang, mandapa dan balai. Tempat
tinggal abdi Sri Baginda Paguhan bertugas menghadap. Masuk pintu kedua,
terbentang halaman istana berseri-seri. Rata dan luas dengan rumah indah berisi
kursi-kursi berhias. Di sebelah timur menjulang rumah tinggi berhias lambang
kerajaan itulah balai tempat terima tatamu Srinata di Wilwatikta. Inilah
pembesar yang sering menghadap di balai witana : Wredamentri, tanda Mahamantri
Agung, pasangguhan dengan pengiring Sang Panca Wilwatikta : mapatih, demung,
kanuruhan, rangga. Tumenggung lima priyayi agung yang akrab dengan istana.
Semua patih, demung negara bawahan dan pengalasan.
Semua pembesar daerah yang berhati tetap dan teguh.
Jika datang berkumpul di kepatihan seluruh negara lima Mahamantri Agung, utama
yang mengawal urusan negara. Satria, pendeta, pujangga, para wipra, jika
menghadap berdiri di bawah lindungan asoka di sisi witana. Begitu juga dua
darmadyaksa dan tujuh pembantunya. Bergelar arya, tangkas tingkahnya, pantas
menjadi teladan. Itulah penghadap balai witana, tempat takhta yang terhias
serba bergas. Pantangan masuk ke dalam istana timur agak jauh dan pintu
pertama. Ke Istana Selatan, tempat Singa Wardana, permaisuri, putra dan
putrinya. Ke Istana Utara. tempat Kerta Wardana. Ketiganya bagai kahyangan
semua rumah bertiang kuat, berukir indah, dibuat berwarna-warni Cakinya dari
batu merah pating berunjul, bergambar aneka lukisan. Genting atapnya bersemarak
serba meresapkan pandang menarik perhatian. Bunga tanjung kesara, campaka dan lain-lainnya
terpencar di halaman. Teratur rapi semua perumahan sepanjang tepi benteng.
Timur tempat tinggal pemuka pendeta Siwa Hyang Brahmaraja. Selatan Buda-sangga
dengan Rangkanadi sebagai pemuka. Barat tempat para arya Mahamantri Agung dan
sanak-kadang adiraja.
Di timur tersekat lapangan menjulang istana ajaib.
Raja Wengker dan rani Daha penaka Indra dan Dewi Saci. Berdekatan dengan istana
raja Matahun dan rani Lasem. Tak jauh di sebelah selatan raja Wilwatikta. Di
sebelah utara pasar: rumah besar bagus lagi tinggi. Di situ menetap patih Daha,
adinda Sri Paduka di Wengker. Batara Narpati, termashur sebagai tulang punggung
praja. Cinta taat kepada raja, perwira, sangat tangkas dan bijak. Di timur laut
rumah patih Wilwatikta, bernama Gajah Mada. Mahamantri Agung wira, bijaksana,
setia bakti kepada negara. Fasih bicara, teguh tangkas, tenang, tegas, cerdik
lagi jujur. Tangan kanan maharaja sebagai penggerak roda negara. Sebelah
selatan puri, gedung kejaksaan tinggi bagus. Sebelah timur perumahan Siwa, sebelah
barat Buda. Terlangkahi rumah para Mahamantri Agung, para arya dan satria.
Perbedaan ragam pelbagai rumah menambah indahnya pura. Semua rumah memancarkan
sinar warnanya gilang-cemerlang. Menandingi bulan dan matahari, indah tanpa
upama. Negara-negara di nusantara dengan Daha bagai pemuka. Tunduk menengadah,
berlindung di bawah kuasa Wilwatikta.
Kemudian akan diperinci demi pulau negara bawahan,
paling dulu Melayu: Jambi, Palembang, Toba dan Darmasraya. Pun ikut juga
disebut Daerah Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar dan Pane Kampe,
Haru serta Mandailing, Tamihang, negara perlak dan padang Lawas dengan Samudra
serta Lamuri, Batan, Lampung dan juga Barus. Itulah terutama negara-negara
Melayu yang telah tunduk. Negara-negara di pulau Tanjungnegara :
Kapuas-Katingan, Sampit, Kota Ungga, Kota Waringin, Sambas, Lawai ikut
tersebut. Kadandangan, Landa, Samadang dan Tirem tak terlupakan. Sedu, Barune,
Kalka, Saludung, Solot dan juga Pasir Barito, Sawaku, Tabalung, ikut juga
Tanjung Kutei. Malano tetap yang terpenting di pulau Tanjungpura.
Di Hujung Medini, Pahang yang disebut paling
dahulu. Berikut Langkasuka, Saimwang, Kelantan serta Trengganu Johor, Paka,
Muar, Dungun, Tumasik, Kelang serta Kedah Jerai, Kanjapiniran, semua sudah lama
terhimpun. Di sebelah timur Jawa seperti yang berikut: Bali dengan negara yang
penting Badahulu dan Lo Gajah. Gurun serta Sukun, Taliwang, pulau Sapi dan
Dompo Sang Hyang Api, Bima. Seram, Hutan Kendali sekaligus. Pulau Gurun, yang
juga biasa disebut Lombok Merah. Dengan daerah makmur Sasak diperintah
seluruhnya. Bantayan di wilayah Bantayan beserta kota Luwuk. Sampai
Udamakatraya dan pulau lain-lainnya tunduk. Tersebut pula pulau-pulau Makasar,
Buton, Banggawi, Kunir, Galian serta Salayar, Sumba, Solot, Muar. Lagi pula Wanda
(n), Ambon atau pulau Maluku, Wanin, Seran, Timor dan beberapa lagi pulau-pulau
lain. Berikutnya inilah nama negara asing yang mempunyai hubungan Siam dengan
Ayodyapura, begitu pun Darmanagari Marutma. Rajapura begitu juga Singasagari
Campa, Kamboja dan Yawana ialah negara sahabat.
Pulau Madura tidak dipandang negara asing. Karena
sejak dahulu menjadi satu dengan Jawa. Konon dahulu Jawa dan Madura terpisah
meskipun tidak sangat jauh. Semenjak nusantara menadah perintah Sri Paduka,
tiap musim tertentu mempersembahkan pajak upeti. Terdorong keinginan akan
menambah kebahagiaan. Pujangga dan pegawai diperintah menarik upeti.
Pujangga-pujangga yang lama berkunjung di nusantara. Dilarang mengabaikan
urusan negara dan mengejar untung. Seyogyanya, jika mengemban perintah ke mana
juga, harus menegakkan agama Siwa, menolak ajaran sesat. Konon kabarnya para
pendeta penganut Sang Sugata dalam perjalanan mengemban perintah Sri Baginda,
dilarang menginjak tanah sebelah barat pulau Jawa. Karena penghuninya bukan penganut
ajaran Buda.
Tanah sebelah timur Jawa terutama Gurun dan Bali,
boleh dijelajah tanpa ada yang dikecualikan. Bahkan menurut kabaran begawan
Empu Barada, serta raja pendeta Kuturan telah bersumpah teguh. Para pendeta
yang mendapat perintah untuk bekerja, dikirim ke timur ke barat, di mana mereka
sempat melakukan persajian seperti perintah Sri Nata. Resap terpandang mata
jika mereka sedang mengajar. Semua negara yang tunduk setia menganut perintah.
Dijaga dan dilindungi Sri Nata dari pulau Jawa. Tapi yang membangkang,
melanggar perintah dibinasakan pimpinan angkatan laut yang telah mashur lagi
berjasa. Telah tegak teguh kuasa Sri Nata di Jawa dan wilayah nusantara. Di Sri
Palatikta tempat beliau bersemayam, menggerakkan roda dunia. Tersebar luas nama
beliau, semua penduduk puas, girang dan lega. Wipra pujangga dan semua penguasa
ikut menumpang menjadi mashur. Sungguh besar kuasa dan jasa beliau, raja agung
dan raja utama. Lepas dari segala duka mengenyam hidup penuh segala kenikmatan.
Terpilih semua gadis manis di seluruh wilayah Jenggala Kediri. Berkumpul di
istana bersama yang terampas dari negara tetangga. Segenap tanah Jawa bagaikan
satu kota di bawah kuasa Sri Paduka.
Ribuan orang berkunjung laksana bilangan tentara
yang mengepung pura. Semua pulau laksana daerah pedusunan tempat menimbun bahan
makanan. Gunung dan rimba hutan penaka taman hiburan terlintas tak berbahaya.
Tiap bulan sehabis musim hujan beliau biasa pesiar keliling. Desa Sima di
sebelah selatan Jalagiri, di sebelah timur pura. Ramai tak ada hentinya selama
pertemuan dan upacara prasetyan. Girang melancong mengunjungi Wewe Pikatan
setempat dengan candi lima. Atau pergilah beliau bersembah bakti ke hadapan
Hyang Acalapati. Biasanya terus menuju Blitar, Jimur mengunjungi gunung-gunung
permai.
Di Daha terutama ke Polaman, ke Kuwu dan lingga
hingga desa Bangin. Jika sampai di Jenggala, singgah di Surabaya, terus menuju
Buwun. Pada tahun 1275 Saka, Sang Prabu menuju Pajang membawa banyak pengiring.
Tahun 1276 ke Lasem, melintasi pantai samudra. Tahun 1279, ke laut selatan
menembus hutan. Lega menikmati pemandangan alam indah Lodaya, Tetu dan Sideman.
Tahun 1281 di Badrapada bulan tambah. Sri Nata pesiar keliling seluruh negara
menuju kota Lumajang. Naik kereta diiring semua raja Jawa serta permaisuri dan
abdi Mahamantri Agung, tanda, pendeta, pujangga, semua para pembesar ikut
serta.
Juga yang menyamar, Empu Prapanca, girang turut
mengiring paduka Maharaja. Tak tersangkal girang sang kawi, putra pujangga,
juga pencinta kakawin. Dipilih Sri Paduka sebagai pembesar kebudaan mengganti
sang ayah. Semua pendeta Buda ramai membicarakan tingkah lakunya dulu. Tingkah
sang kawi waktu muda menghadap raja berkata, berdamping, tak lain. Maksudnya
mengambil hati, agar disuruh ikut beliau ke mana juga. Namun belum mampu
menikmati alam, membinanya, mengolah dan menggubah. Karya kakawin, begitu warna
desa sepanjang marga terkarang berturut. Mula-mula melalui Japan dengan asrama
dan candi-candi ruk-rebah. Sebelah timur Tebu, hutan Pandawa, Daluwang, Bebala
di dekat Kanci.
Ratnapangkaja serta Kuti, Haji, Pangkaja memanjang
bersambung-sambungan. Mandala Panjrak, Pongglang serta Jingan. Kuwu, Hanyar
letaknya di tepi jalan. Habis berkunjung pada candi pasareyan Pancasara,
menginap di Kapulungan. Selanjutnya sang kawi bermalam di Waru, di Hering,
tidak jauh dari pantai. Yang mengikuti ketetapan hukum jadi milik kepala asrama
Saraya. Tetapi masih tetap dalam tangan lain, rindu termenung-menung menunggu.
Seberangkat Sri Nata dari Kapulungan, berdesak abdi berarak. Sepanjang jalan penuh
kereta, penumpangnya duduk berimpit-impit. Pedati di muka dan di belakang, di
tengah prajurit berjalan kaki. Berdesak-desakan, berebut jalan dengan binatang
gajah dan kuda.
Tak terhingga jumlah kereta, tapi berbeda-beda
tanda cirinya. Meleret berkelompok-kelompok, karena tiap mentri lain
lambangnya. Rakrian sang Mahamantri Agung Patih Amangkubumi penata kerajaan.
Keretanya beberapa ratus berkelompok dengan aneka tanda. Segala kereta Sri Nata
Pajang semua bergambar matahari. Semua kereta Sri Nata Lasem bergambar
cemerlang banteng putih. Kendaraan Sri Nata paha bergambar Dahakusuma mas
mengkilat. Kereta Sri Nata Jiwana berhias bergas menarik perhatian. Kereta Sri
Nata Wilwatikta tak ternilai, bergambar buah mala. Beratap kain geringsing,
berhias lukisan mas, bersinar meran indah. Semua pegawai, parameswari raja dan
juga rani Sri Sudewi. Ringkasnya para wanita berkereta merah berjalan paling
muka.
Kereta Sri Nata berhias mas dan ratna manikam
paling belakang. Jempana-jempana lainnya bercadar beledu, meluap gemerlap.
Rapat rampak prajurit pengiring Jenggala Kediri, Panglarang, Sedah Bayangkari
gemruduk berbondong-bondong naik gajah dan kuda. Pagi-pagi telah tiba di
Pancuran Mungkur, Sri Nata ingin rehat. Sang rakawi menyidat jalan, menuju
Sawungan mengunjungi kerabat. Larut matahari berangkat lagi tepat waktu Sri
Paduka lalu. Ke arah timur menuju Watu Kiken, lalu berhenti di Matanjung. Dukuh
sepi kebudaan dekat tepi jalan, pohonnya jarang-jarang. Berbeda-beda namanya
Gelanggang, Badung, tidak jauh dari Barungbung. Tak terlupakan Ermanik, dukuh
teguh-taat kepada Yanatraya. Puas sang darmadyaksa mencicipi aneka jamuan makan
dan minum.
Sampai di Kulur, Batang di Gangan Asem perjalanan
Sri Baginda. Hari mulai teduh, surya terbenam, telah gelap pukul tujuh malam Sri
Paduka memberi perintah memasang tenda di tengah-tengah sawah. Sudah siap habis
makan, cepat-cepat mulai membagi-bagi tempat. Paginya berangkat lagi menuju
Baya, rehat tiga hari tiga malam. Dari Baya melalui Katang, Kedung Dawa, Rame,
menuju Lampes, Times. Serta biara pendeta di Pogara mengikut jalan pasir
lemak-lembut. Menuju daerah Beringin Tiga di Dadap, kereta masih terus lari.
Tersebut dukuh kasogatan Madakaripura dengan pemandangan indah. Tanahnya
anugerah Sri Paduka kepada Gajah Mada, teratur rapi. Di situlah Sri Paduka
menempati pasanggrahan yang tehias sangat bergas. Sementara mengunjungi mata
air, dengan ramah melakukan mandi bakti.
Sampai di desa Kasogatan, Sri Paduka dijamu makan
minum. Pelbagai penduduk Gapuk, Sada, Wisisaya, Isanabajra, Ganten, Poh,
Capahan, Kalampitan, Lambang, Kuran, Pancar, We, Petang. Yang letaknya di
lingkungan biara, semua datang menghadap. Begitu pula desa Tunggilis, Pabayeman
ikut berkumpul. Termasuk Ratnapangkaja di Carcan, berupa desa perdikan. Itulah
empat belas desa Kasogatan yang berakuwu. Sejak dahulu delapan saja yang
menghasilkan bahan makanan. Fajar menyingsing, berangkat lagi Sri Paduka
melalui Lo Pandak, Ranu Kuning, Balerah, Bare-bare, Dawohan, Kapayeman, Telpak,
Baremi, Sapang serta Kasaduran. Kereta berjalan cepat-cepat menuju Pawijungan.
Menuruni lurah, melintasi sawah, lari menuju Jaladipa, Talapika, Padali, Arnon
dan Panggulan. Langsung ke Payaman, Tepasana ke arah kota Rembang. Sampai di
Kemirahan yang letaknya di pantai lautan.
Di Dampar dan Patunjungan Sri Paduka bercengkerama
menyisir tepi lautan. Ke jurusan timur turut pasisir datar, lembut-limbur
dilintasi kereta. Berhenti beliau di tepi danau penuh teratai, tunjung sedang
berbunga. Asyik memandang udang berenang dalam air tenang memperlihatkan dasarnya.
Terlangkahi keindahan air telaga yang lambai-melambai dengan lautan. Danau
ditinggalkan menuju Wedi dan Guntur tersembunyi di tepi jalan. Kasogatan
Bajraka termasuk wilayah Taladwaja sejak dulu kala. Seperti juga Patunjungan,
akibat perang belum kembali ke asrama. Terlintas tempat tersebut, ke timur
mengikut hutan sepanjang tepi lautan. Berhenti di Palumbon berburu sebentar,
berangkat setelah surya larut. Menyeberangi sungai Rabutlawang yang kebetulan
airnya sedang surut. Menuruni lurah Balater menuju pantai lautan lalu bermalam
lagi. Pada waktu fajar menyingsing, menuju Kunir Basini, di Sadeng bermalam.
Malam berganti malam, Sri Paduka pesiar menikmati
alam Sarampuan. Sepeninggal-nya beliau menjelang kota Bacok bersenang-senang di
pantai. Heran memandang karang tersiram riak gelombang berpancar seperti hujan.
Tapi sang rakawi tidak ikut berkunjung di Bacok, pergi menyidat jalan. Dari
Sadeng ke utara menjelang Balung, lerus menuju Tumbu dan Habet. Galagah,
Tampaling, beristirahat di Renes seraya menanti Sri Paduka. Segera berjumpa
lagi dalam perjalanan ke Jayakreta-Wanagriya. Melalui Doni Bontong. Puruhan,
Bacek, Pakisaji, Padangan terus ke Secang. Terlintas Jati Gumelar, Silabango.
Ke utara ke Dewa Rame dan Dukun. Lalu berangkat lagi ke Pakembangan. Di situ
bermalam, segera berangkat. Sampailah beliau ke ujung lurah Daya. Yang segera
dituruni sampai jurang. Dari pantai ke utara sepanjang jalan. Sangat sempit
sukar amat dijalani. Lumutnya licin akibat kena hujan. Banyak kereta rusak
sebab berlanggar.
Terlalu lancar lari kereta melintas Palayangan. Dan
Bangkong dua desa tanpa cerita terus menuju Sarana, mereka yang merasa lelah
ingin berehat. Lainnya bergegas berebucalan menuju Surabasa. Terpalang matahari
terbenam berhenti di padang lalang. Senja pun turun, sapi lelah dilepas dari
pasangan. Perjalanan membelok ke utara melintas Turayan. Beramai-ramai
lekas-lekas ingin mencapai Patukangan. Panjang lamun dikisahkan kelakuan para
mentri dan abdi. Beramai-ramai Sri Paduka telah sampai di desa Patukangan. Di
tepi laut lebar tenang rata terbentang di barat Talakrep Sebelah utara pakuwuan
pesanggrahan Sri Baginda. Semua Mahamantri Agung mancanagara hadir di pakuwuan.
Juga jaksa Pasungguhan Sang Wangsadiraja ikut menghadap. Para Upapati yang
tanpa cela, para pembesar agama. Panji Siwa dan Panji Buda faham hukum dan
putus sastera. Sang adipati Suradikara memimpin upacara sambutan.
Diikuti segenap penduduk daerah wilayah Patukangan.
Menyampaikan persembahan, girang bergilir dianugerahi kain Girang rakyat girang
raja, pakuwuan berlimpah kegirangan. Untuk pemandangan ada rumah dari ujung
memanjang ke lautan. Aneka bentuknya, rakit halamannya, dari jauh bagai pulau.
Jalannya jembatan goyah kelihatan bergoyang ditempuh ombak. Itulah buatan sang
arya bagai persiapan menyambut raja. Untuk mengurangi sumuk akibat teriknya
matahari Sri Paduka mendekati permaisuri seperti dewa-dewi. Para putri laksana
apsari turun dari kahyangan. Hilangnya keganjilan berganti pandang penuh heran
cengang. Berbagai-bagai permainan diadakan demi kesukaan. Berbuat segala apa
yang membuat gembira penduduk. Menari topeng. bergumul, bergulat, membuat orang
kagum. Sungguh beliau dewa menjelma sedang mengedari dunia. Selama kunjungan di
desa Patukangan Para Mahamantri Agung dari Bali dan Madura.
Dari Balumbung, kepercayaan Sri Paduka Mahamantri
Agung seluruh Jawa Timur berkumpul. Persembahan bulu bekti bertumpah-limpah.
Babi, gudel, kerbau, sapi, ayam dan anjing. Bahan kain yang diterima bertumpuk
timbun. Para penonton tercengang-cengang memandang. Tersebut keesokan hari
pagi-pagi. Sri Paduka keluar di tengah-tengah rakyat. Diiringi para kawi serta
pujangga. Menabur harta membuat gembira rakyat. Hanya pujangga yang menyamar
Empu Prapanca sedih tanpa upama Berkabung kehilangan kawan kawi-Buda Panji Kertayasa.
Teman bersuka-ria, ternan karib dalam upacara gama. Beliau dipanggil pulang,
sedang mulai menggubah arya megah. Kusangka tetap sehat, sanggup mengantar aku
ke mana juga. Beliau tahu tempat-tempat mana yang layak pantas dilihat. Rupanya
sang pujangga ingin mewariskan karya megah indah. Namun mangkatlah beliau,
ketika aku tiba, tak terduga. Itulah lantarannya aku turut berangkat ke desa
Keta. Melewati Tal Tunggal, Halalang panjang. Pacaran dan Bungatan Sampai Toya
Rungun, Walanding, terus Terapas, lalu beralam. Paginya berangkat ke Lemah
Abang, segera tiba di Keta.
Tersebut perjalanan Sri Baginda ke arah barat.
Segera sampai Keta dan tinggal di sana lima hari. Girang beliau melihat lautan,
memandang balai kambang. Tidak lupa menghirup kesenangan lain sehingga puas.
Atas perintah sang arya semua Mahamantri Agung menghadap. Wiraprana bagai
kepala upapati Siwa-Buda. Mengalir rakyat yang datang sukarela tanpa diundang.
Membawa bahan santapan, girang menerima balasan. Keta telah ditinggalkan.
Jumlah pengiring malah bertambah. Melintasi Banyu Hening, perjalanan sampai
Sampora. Terus ke Daleman menuju Wawaru, Gebang, Krebilan. Sampai di Kalayu Sri
Paduka berhenti ingin menyekar. Kalayu adalah nama desa perdikan kasogatan.
Tempat candi pasareyan sanak kadang Sri Paduka Prabu.
Penyekaran di pasareyan dilakukan dengan sangat
hormat. “Memegat sigi” nama upacara penyekaran itu. Upacara berlangsung
menepati segenap aturan. Mulai dengan jamuan makan meriah tanpa upama. Para
patih mengarak Sri Paduka menuju paseban. Genderang dan kendang bergetar
mengikuti gerak tandak. Habis penyekaran raja menghirup segala kesukaan.
Mengunjungi desa-desa disekitarnya genap lengkap. Beberapa malam lamanya
berlumba dalam kesukaan. Memeluk wanita cantik dan meriba gadis remaja. Kalayu ditinggalkan,
perjalanan menuju Kutugan. Melalui Kebon Agung, sampai Kambangrawi bermalam.
Tanah anugerah Sri Nata kepada Tumenggung Nala. Candinya Buda menjulang tinggi,
sangat elok bentuknya. Perjamuan Tumenggung Empu Nala jauh dari cela. Tidak
diuraikan betapa lahap Sri Baginda bersantap. Paginya berangkat lagi ke Halses,
Berurang, Patunjungan. Terus langsung melintasi Patentanan, Tarub dan Lesan.
Segera Sri Paduka sampai di Pajarakan, di sana
bermalam empat hari. Di tanah lapang sebelah selatan candi Buda beliau memasang
tenda. Dipimpin Arya Sujanotama para mantri dan pendeta datang menghadap.
Menghaturkan pacitan dan santapan, girang menerima anugerah uang. Berangkat
dari situ Sri Paduka menuju asrama di rimba Sagara. Mendaki bukit-bukit ke arah
selatan dan melintasi terusan Buluh. Melalui wilayah Gede, sebentar lagi sampai
di asrama Sagara. Letaknya gaib ajaib di tengah-tengah hutan membangkitkan rasa
kagum rindu. Sang pujangga Empu Prapanca yang memang senang bermenung tidak
selalu menghadap. Girang melancong ke taman melepaskan lelah melupakan segala
duka. Rela melalaikan paseban mengabaikan tata tertib para pendeta. Memburu
nafsu menjelajah rumah berbanjar-banjar dalam deretan berjajar. Tiba di taman
bertingkat, di tepi pesanggrahan tempat bunga tumbuh lebat.
Suka cita Empu Prapanca membaca cacahan (pahatan)
dengan slokanya di dalam cinta. Di atas tiap atap terpahat ucapan seloka yang
disertai nama Pancaksara pada penghabisan tempat terpahat samar-samar,
menggirangkan. Pemandiannya penuh lukisan dongengan berpagar batu gosok tinggi.
Berhamburan bunga nagakusuma di halaman yang dilingkungi selokan Andung,
karawira, kayu mas, menur serta kayu puring dan lain-lainnya. Kelapa gading
kuning rendah menguntai di sudut mengharu rindu pandangan. Tiada sampailah kata
meraih keindahan asrama yang gaib dan ajaib. Beratapkan hijuk, dari dalam dan
luar berkesan kerasnya tata tertib. Semua para pertapa, wanita dan priya, tua
muda nampaknya bijak. Luput dari cela dan klesa, seolah-olah Siwapada di atas
dunia.
Habis berkeliling asrama, Sri Paduka lalu dijamu.
Para pendeta pertapa yang ucapannya sedap resap. Segala santapan yang tersedia
dalam pertapan. Sri Paduka membalas harta. membuat mereka gembira. Dalam
pertukaran kata tentang arti kependetaan. Mereka mencurahkan isi hati, tiada
tertahan. Akhirnya cengkerma ke taman penuh dengan kesukaan Kegirang-girangan
para pendeta tercengang memandang. Habis kesukaan memberi isyarat akan
berangkat. Pandang sayang yang ditinggal mengikuti langkah yang pergi. Bahkan
yang masih remaja putri sengaja merenung. Batinnya : dewa asmara turun untuk
datang menggoda. Sri Paduka berangkat, asrama tinggal berkabung. Bambu menutup
mata sedih melepas selubung. Sirih menangis merintih, ayam raga menjerit. Tiung
mengeluh sedih, menitikkan air matanya. Kereta lari cepat, karena jalan
menurun. Melintasi rumah dan sawah di tepi jalan. Segera sampai Arya, menginap
satu malam. Paginya ke utara menuju desa Ganding. Para mentri mancanegara
dikepalai Singadikara, serta pendeta Siwa-Buda.
Membawa santapan sedap dengan upacara. Gembira
dibalas Sri Paduka dengan mas dan kain. Agak lama berhenti seraya istirahat.
Mengunjungi para penduduk segenap desa. Kemudian menuju Sungai Gawe, Sumanding,
Borang, Banger, Baremi lalu lurus ke barat. Sampai Pasuruan menyimpang jalan ke
selatan menuju Kepanjangan. Menganut jalan raya kereta lari beriring-iring ke
Andoh Wawang ke Kedung Peluk dan ke Hambal, desa penghabisan dalam ingatan.
Segera Sri Paduka menuju kota Singasari bermalam di balai kota. Empu Prapanca
tinggal di sebelah barat Pasuruan. Ingin terus melancong menuju asrama.
Indarbaru yang letaknya di daerah desa. Hujung Berkunjung di rumah pengawasnya,
menanyakan perkara tanah asrama. Lempengan Serat Kekancingan pengukuh
diperlihatkan, jelas setelah dibaca. Isi Serat Kekancingan : tanah datar serta
lembah dan gunungnya milik wihara. Begitupula sebagian Markaman, ladang
Balunghura, sawah Hujung Isi Serat Kekancingan membujuk sang pujangga untuk
tinggal jauh dari pura. Bila telah habis kerja di pura, ingin ia menyingkir ke
Indarbaru. Sebabnya terburu-buru berangkat setelah dijamu bapa asrama karena
ingat akan giliran menghadap di balai Singasari. Habis menyekar di candi makam,
Sri Paduka mengumbar nafsu kesukaan. Menghirup sari pemandangan di Kedung Biru,
Kasurangganan dan Bureng.
Pada subakala Sri Paduka berangkat ke selatan
menuju Kagenengan. Akan berbakti kepada pasareyan batara bersama segala
pengiringnya Harta. perlengkapan. makanan. dan bunga mengikuti jalannya
kendaraan. Didahului kibaran bendera,sdisambut sorak-sorai dari penonton. Habis
penyekaran, Baginda keluar dikerumuni segenap rakyat. Pendeta Siwa-Buda dan
para bangsawan berderet leret di sisi beliau. Tidak diceritakan betapa rahap
Sri Paduka bersantap sehingga puas. Segenap rakyat girang menerima anugerah
bahan pakaian yang indah. Tersebut keindahan candi makam, bentuknya tiada
bertara.
Pintu masuk terlalu lebar lagi tinggi, bersabuk
dari luar. Di dalam terbentang halaman dengan rumah berderet di tepinya.
Ditanami aneka ragam bunga, tanjung, nagasari ajaib. Menara lampai menjulang
tinggi di tengah-tengah, terlalu indah. Seperti gunung Meru dengan arca Batara
Siwa di dalamnya. Karena Girinata putra disembah bagai dewa batara. Datu
leluhur Sri Naranata yang disembah di seluruh dunia. Sebelah selatan candi
pasareyan ada candi sunyi terbengkalai. Tembok serta pintunya yang masih
berdiri, berciri kasogatan lantai di dalam. Hilang kakinya bagian barat,
tinggal yang timur. Sanggar dan pemujaan yang utuh, bertembok tinggi dari batu
merah. Di sebelah utara, tanah bekas kaki rumah sudahlah rata. Terpencar
tanamannya nagapuspa serta salaga di halaman. Di luar gapura pabaktan luhur,
tapi telah longsor tanahnya. Halamannya luas tertutup rumput, jalannya penuh
dengan lumut laksana wanita sakit merana lukisannya lesu-pucat. Berhamburan
daun cemara yang ditempuh angin, kusut bergelung. Kelapa gading melulur
tapasnya, pinang letih lusuh merayu.
Buluh gading melepas kainnya, layu merana tak ada
hentinya. Sedih mata yang memandang, tak berdaya untuk menyembuhkannya. Kecuali
menanti Hayam Wuruk sumber hidup segala makhluk. Beliau mashur bagai raja
utama, bijak memperbaiki jagad. Pengasih bagi yang menderita sedih, sungguh
titisan batara. Tersebut lagi, paginya Sri Paduka berkunjung ke candi Kidal.
Sesudah menyembah batara, larut hari berangkat ke Jajago. Habis menghadap arca
Jina, beliau berangkat ke penginapan. Paginya menuju Singasari, belum lelah
telah sampai Bureng. Keindahan Bureng : telaga bergumpal airnya jernih.
Kebiru-biruan, di tengahnya candi karang bermekala. Tepinya rumah berderet,
penuh pelbagai ragam bunga. Tujuan para pelancong penyerap sari kesenangan.
Terlewati keindahannya, berganti cerita narpati. Setelah reda terik matahari,
melintas tegal tinggi.
Rumputnya tebal rata, hijau mengkilat, indah
terpandang. Luas terlihat laksana lautan kecil berombak jurang. Seraya
berkeliling kereta lari tergesa-gesa. Menuju Singasari, segera masuk ke
pesanggrahan. Sang pujangga singgah di rumah pendeta Buda, sarjana. Pengawas
candi dan silsilah raja, pantas dikunjungi. Telah lanjut umurnya, jauh
melintasi seribu bulan. Setia, sopan, darah luhur, keluarga raja dan mashur.
Meski sempurna dalam karya, jauh dari tingkah tekebur. Terpuji pekerjaannya,
pantas ditiru keinsafannya. Tamu diterima dengan girang dan ditegur : “Wahai orang
bahagia, pujangga besar pengiring raja, pelindung dan pengasih keluarga yang
mengharap kasih. Jamuan apa yang layak bagi paduka dan tersedia?” Maksud
kedatangannya: ingin tahu sejarah leluhur para raja yang dicandikan, masih
selalu dihadap. Ceriterakanlah mulai dengan Batara Kagenengan. Ceriterakan
sejarahnya jadi putra Girinata.
Paduka Empuku menjawab : “Rakawi maksud paduka
sungguh merayu hati. Sungguh paduka pujangga lepas budi. Tak putus menambah
ilmu, mahkota hidup. Izinkan saya akan segera mulai. Cita disucikan dengan air
sendang tujuh”.
Terpuji Siwa! Terpuji Girinata! Semoga terhindar
aral, waktu bertutur. Semoga rakawi bersifat pengampun. Di antara kata mungkin
terselib salah. Harap percaya kepada orang tua. Kurang atau lebih janganlah
dicela. Pada tahun 1104 Saka ada raja perwira yuda Putra Girinata, konon
kabarnya lahir di dunia tanpa ibu. Semua orang tunduk, sujud menyembah kaki
bagai tanda bakti. Sri Ranggah Rajasa nama beliau, penggempur musuh pahlawan
bijak. Daerah luas sebelah timur gunung Kawi terkenal subur makmur. Di situlah
tempat putra Sang Girinata menunaikan darmanya. Menggirangkan budiman,
menyirnakan penjahat, meneguhkan negara, ibukota negara bernama Kotaraja,
penduduknya sangat terganggu. Tahun 1144 Saka, beliau melawan raja Kediri Sang
Adiperwira Kretajaya, putus sastra serta tatwopadesa. Kalah, ketakutan,
melarikan diri ke dalam biara terpencil. Semua pengawal dan perwira tentara
yang tinggal, mati terbunuh. Setelah kalah Narpati Kediri, Jawa di dalam
ketakutan. Semua raja datang menyembah membawa tanda bakti hasil tanah. Bersatu
Jenggala Kediri di bawah kuasa satu raja sakti. Cikal bakal para raja agung
yang akan memerintah pulau Jawa. Makin bertambah besar kuasa dan megah putra
sang Girinata. Terjamin keselatamatan pulau Jawa selama menyembah kakinya.
Tahun 1149 Saka beliau kembali ke Siwapada. Dicandikan di Kagenengan bagai
Siwa, di Usana bagai Buda.
Batara Anusapati putra Sri Paduka, berganti dalam
kekuasaan. Selama pemerintahannya. tanah Jawa kokoh sentosa, bersembah bakti.
Tahun 1170 Saka beliau pulang ke Siwaloka. Cahaya beliau diujudkan arca Siwa
gemilang di candi pasareyan Kidal. Batara Wisnu Wardana, putra Sri Paduka,
berganti dalam kekuasaan. Beserta Narasinga bagai Madawa dengan Indra
memerintah negara Beliau memusnahkan perusuh Linggapati serta segenap
pengikutnya. Takut semua musuh kepada beliau sungguh titisan Siwa di bumi.
Tahun 1176 Saka, Batara Wisnu menobatkan putranya. Segenap rakyat Kediri
Jenggala berduyun-duyun ke pura mangastubagia. Prabu Kerta Negara nama
gelarannya, tetap demikian seterusnya. Daerah Kotaraja bertambah makmur,
berganti nama praja Singasari. Tahun 1192, Raja Wisnu berpulang. Dicandikan di
Waleri berlambang arca Siwa, di Jajago arca Buda. Sementara itu Batara Nara
Singa Murti pun pulang ke Surapada. Dicandikan di Wengker, di Kumeper diarcakan
bagai Siwa mahadewa. Tersebut Sri Paduka Kertanagara membinasakan perusuh,
penjahat. Bernama Cayaraja, gugur pada tahun Saka 1192. Tahun 1197 Saka, Sri
Paduka menyuruh tundukkan Melayu. Berharap Melayu takut kedewaan beliau tunduk
begitu sahaja.
Tahun 1202 Saka, Sri Paduka Prabu memberantas
penjahat Mahisa Rangga, karena jahat tingkahnya dibenci seluruh negara. Tahun
1206 Saka, mengirim utusan menghancurkan Bali. Setelah kalah rajanya menghadap
Sri Paduka sebagai orang tawanan. Demikianlah dari empat jurusan orang lari
berlindung di bawah Sri Paduka. Seluruh Pahang, segenap Melayu tunduk menekur
di hadapan beliau. Seluruh Gurun, segenap Bakulapura lari mencari perlindungan.
Sunda Madura tak perlu dikatakan, sebab sudah terang setanah Jawa. Jauh dari
tingkah alpa dan congkak, Sri Paduka waspada, tawakal dan bijak. Faham akan
segala seluk beluk pemerintahan sejak zaman Kali. Karenanya tawakal dalam agama
dan tapa untuk teguhnya ajaran Buda. Menganut jejak para leluhur demi
keselamatan seluruh praja.
Menurut kabar sastra raja Pandawa memerintah sejak
zaman Dwapara. Tahun 1209 Saka, beliau pulang ke Budaloka. Sepeninggalnya
datang zaman Kali, dunia murka, timbul huru hara. Hanya batara raja yang faham
dalam nam guna, dapat menjaga jagad. Itulah sebabnya Sri Paduka teguh bakti
menyembah kaki Sakyamuni. Teguh tawakal memegang Pancasila, laku utama, upacara
suci Gelaran Jina beliau yang sangat mashur ialah Sri Jnanabadreswara. Putus
dalam filsafat, ilmu bahasa dan lain pengetahuan agama. Berlumba-lumba beliau
menghirup sari segala ilmu kebatinan. Pertama-tama tantra Subuti diselami,
intinya masuk ke hati.
Melakukan puja, yoga, samadi demi keselamatan
seluruh praja. Menghindarkan tenung, mengindahkan anugerah kepada rakyat murba.
Di antara para raja yang lampau tidak ada yang setara beliau. Faham akan nam
guna, sastra, tatwopadesa, pengetahuan agama Adil, teguh dalam Jinabrata dan
tawakal kepada laku utama. Itulah sebabnya beliau turun-temurun menjadi raja
pelindung. Tahun 1214 Saka, Sri Paduka pulang ke Jinalaya. Berkat pengetahuan
beliau tentang upacara, ajaran agama. Beliau diberi gelaran : Yang Mulia
bersemayam di alam Siwa-Buda. Di pasareyan beliau bertegak arca Siwa-Buda
terlampau indah permai. Di Sagala ditegakkan pula arca Jina sangat bagus dan
berkesan. Serta arca Ardanareswari bertunggal dengan arca Sri Bajradewi. Teman
kerja dan tapa demi keselamatan dan kesuburan negara Hyang Wairocana-Locana
bagai lambangnya pada arca tunggal, terkenal.
Tatkala Sri Paduka Kertanagara pulang ke Budabuana.
Merata takut, duka, huru hara, laksana zaman Kali kembali. Raja bawahan bernama
Jayakatwang, berwatak terlalu jahat berkhianat, karena ingin berkuasa di
wilayah Kediri. Tahun 1144 Saka, itulah sirnanya raja Kertajaya atas perintah
Siwaputra Jayasaba berganti jadi raja. Tahun Saka 1180, Sastrajaya raja Kediri.
Tahun 1193, Jayakatwang raja terakhir. Semua raja berbakti kepada cucu putra
Girinata. Segenap pulau tunduk kepada kuasa Prabu Kerta Negara. Tetapi raja
Kediri Jayakatwang membuta dan mendurhaka. Ternyata damai tak baka akibat
bahaya anak piara Kali. Berkat keulungan sastra dan keuletannya jadi raja
sebentar. Lalu ditundukkan putra Sri Paduka, ketenterarnan kembali. Sang
menantu Raden Wijaya, itu gelarnya yang terkenal di dunia Bersekutu dengan
bangsa Tartar, menyerang melebur Jayakatwang.
Sepeninggal Jayakatwang jagad gilang cemerlang
kembali. Tahun 1216 Saka, Raden Wijaya menjadi raja. Disembah di Majapahit,
kesayangan rakyat, pelebur musuh. Bergelar Sri Baginda Kerta Rajasa Jaya
Wardana. Selama Kerta Rajasa Jaya Wardana duduk di takhta, seluruh tanah Jawa
bersatu padu, tunduk menengadah. Girang memandang pasangan Sri Paduka empat
jumlahnya. Putri Kertanagara cantik-cantik bagai bidadari. Sang Parameswari Tri
Buwana yang sulung, luput dari cela. Lalu parameswari Mahadewi, rupawan tidak
bertara Prajnya Paramita Jayendra Dewi, cantik manis menawan hati. Gayatri,
yang bungsu, paling terkasih digelari Rajapatni. Pernikahan beliau dalam
kekeluargaan tingkat tiga. Karena Batara Wisnu dengan Batara Nara Singa Murti.
Akrab tingkat pertama, Narasinga menurunkan Dyah Lembu Tal Sang perwira yuda,
dicandikan di Mireng dengan arca Buda. Dyah Lembu Tal itulah bapa Sri Baginda.
Dalam hidup atut runtut sepakat sehati. Setitah raja diturut, menggirangkan
pandang. Tingkah laku mereka semua meresapkan. Tersebut tahun Saka 1217, Sri
Paduka menobatkan putranya di Kediri. Perwira, bijak, pandai, putra Indreswari.
Bergelar Sri Paduka putra Jayanagara. Tahun Saka 1231, Sang Prabu mangkat, ditanam
di dalam pura Antahpura, begitu nama pasareyan beliau. Dan di pasareyan Simping
ditegakkan arca Siwa.
Beliau meninggalkan Jayanagara sebagai raja
Wilwatikta. Dan dua orang putri keturunan Rajapatni, terlalu cantik. Bagai dewi
Ratih kembar, mengalahkan rupa semua bidadari. Yang sulung jadi rani di Jiwana,
yang bungsu jadi rani Daha. Tersebut pada tahun Saka 1238, bulan Madu Sri
Paduka Jayanagara berangkat ke Lumajang menyirnakan musuh. Kotanya Pajarakan
dirusak, Nambi sekeluarga dibinasakan. Giris miris segenap jagad melihat
keperwiraan Sri Paduka. Tahun Saka 1250, beliau berpulang. Segera dimakamkan di
dalam pura berlambang arca Wisnuparama. Di Sila Petak dan Bubat ditegakkan arca
Wisnu terlalu indah. Di Sukalila terpahat arca Buda sebagai jelmaan Amogasidi.
Tahun Saka 1256, Rani Jiwana Wijaya Tungga Dewi
bergilir mendaki takhta Wilwatikta. Didampingi raja putra Singasari atas
perintah ibunda Rajapatni. Sumber bahagia dan pangkal kuasa. Beliau jadi
pengemban dan pengawas raja muda, Sri Paduka Wilwatikta. Tahun Saka 1253 sirna
musuh di Sadeng, Keta diserang. Selama bertakhta, semua terserah kepada
Mahamantri agung bijak, Mada namanya. Tahun Saka 1265, raja Bali yang alpa dan
rendah budi diperangi, gugur bersama balanya. Menjauh segala yang jahat,
tenteram”.
Begitu ujar Dang Acarya Ratnamsah. Sungguh dan
mengharukan ujar Sang Kaki. Jelas keunggulan Sri Paduka di dunia. Dewa asalnya,
titisan Girinata. Barang siapa mendengar kisah raja. Tak puas hatinya,
bertambah baktinya. Pasti takut melakukan tindak jahat. Menjauhkan diri dari
tindak durhaka.
Paduka Empu minta maaf berkata : “Hingga sekian
kataku, sang rakawi. Semoga bertambah pengetahuanmu. Bagai buahnya, gubahlah
puja sastra”.
Habis jamuan rakawi dengan sopan. Minta diri
kembali ke Singasari. Hari surut sampai pesanggrahan lagi. Paginya berangkat
menghadap Sri Paduka. Tersebut Sri Paduka Prabu berangkat berburu. Lengkap
dengan senjata, kuda dan kereta. Dengan bala ke hutan Alaspati, rimba belantara
rungkut rimbun penuh gelagah rumput rampak. Bala bulat beredar membuat
lingkaran. Segera siap kereta berderet rapat. Hutan terkepung, terperanjat kera
menjerit burung ribut beterbangan berebut dulu. Bergabung sorak orang berseru
den membakar. Gemuruh bagaikan deru lautan mendebur. Api tinggi menyala
menjilat udara. Seperti waktu hutan Alaspati terbakar. Lihat rusa-rusa lari
lupa daratan. Bingung berebut dahulu dalam rombongan. Takut miris menyebar,
ingin lekas lari. Malah manengah berkumpul tumpuk timbun. Banyaknya bagai
banteng di dalam Gobajra Penuh sesak, bagai lembu di Wresabapura Celeng,
banteng, rusa, kerbau, kelinci. Biawak, kucing, kera, badak dan lainnya.
Tertangkap segala binatang dalam hutan. Tak ada yang menentang, semua bersatu.
Srigala gagah, yang bersikap tegak-teguh. Berunding dengan singa sebagai ketua.
Izinkanlah saya bertanya kepada raja satwa.
Sekarang raja merayah hutan, apa yang diperbuat? Menanti mati sambil berdiri
ataukah kita lari. Atau tak gentar serentak melawan, jikalau diserang?
Seolah-olah demikian kata srigala dalam rapat. Kijang menjawab : “Hemat patik
tidak ada jalan lain kecuali lari. Lari mencari keselamatan diri sedapat
mungkin”. Kaswari, rusa dan kelinci setuju. Banteng berkata : “Amboi! Celaka
kijang, sungguh binatang hina lemah. Bukanlah sifat perwira lari, atau menanti
mati. Melawan dengan harapan menang, itulah kewajiban.” Kerbau, lembu serta
harimau setuju dengan pendapat ini. Jawab singa : “Usulmu berdua memang pantas
diturut, Bung. Tapi harap dibedakan, yang dihadapi baik atau buruk. Jika
penjahat, terang kita lari atau kita lawan. Karena sia-sia belaka, jika mati
terbunuh olehnya. Jika kita menghadapi tripaksa, resi Siwa-Buda. Seyogyanya
kita ikuti saja jejak sang pendeta. Jika menghadapi raja berburu, tunggu mati
saja. Tak usah engkau merasa enggan menyerahkan hidupmu. Karena raja berkuasa
mengakhiri hidup makhluk. Sebagai titisan Batara Siwa berupa narpati. Hilang
segala dosanya makhluk yang dibunuh beliau. Lebih utama dari pada terjun ke
dalam telaga. Siapa di antara sesama akan jadi musuhku? Kepada tripaksa aku
takut, lebih utama menjauh. Niatku, jika berjumpa raja, akan menyerahkan hidup.
Mati olehnya, tak akan lahir lagi bagai binatang.
Bagaikan katanya: “Marilah berkumpul!” Kemudian
serentak maju berdesak. Prajurit darat yang terlanjur langkahnya. Tertahan
tanduk satwa, lari kembali. Tersebutlah prajurit berkuda. Bertemu celeng sedang
berdesuk kumpul. Kasihan! Beberapa mati terbunuh. Dengan anaknya dirayah tak
berdaya. Lihatlah celeng jalang maju menerjang. Berempat, berlima, gemuk,
tinggi, marah. Buas membekos-bekos, matanya merah. Liar dahsyat, saingnya
seruncing golok. Tersebut pemburu kijang rusa riuh seru-menyeru.
Ada satu yang tertusuk tanduk, lelah lambat
jalannya. Karena luka kakinya, darah deras meluap-luap. Lainnya mati
terinjak-injak, menggelimpang kesakitan. Bala kembali berburu, berlengkap
tombak serta lembing. Berserak kijang rusa di samping bangkai bertumpuk timbun.
Banteng serta binatang galak lainnya bergerak menyerang. Terperanjat bala raja
bercicir lari tunggang langgang. Ada yang lari berlindung di jurang, semak,
kayu rimbun. Ada yang memanjat pohon, ramai mereka berebut puncak. Kasihanlah
yang memanjat pohon tergelincir ke bawah Betisnya segera diseruduk dengan
tanduk, pingsanlah! Segera kawan-kawan datang menolong dengan kereta. Menombak,
melembing, menikam, melanting, menjejak-jejak. Karenanya badak mundur, meluncur
berdebak gemuruh. Lari terburu, terkejar, yang terbunuh bertumpuk timbun. Ada
pendeta Siwa-Buda yang turut menombak, mengejar. Disengau harimau, lari diburu
binatang mengancam. Lupa akan segala darma, lupa akan tata sila. Turut
melakukan kejahatan, melupakan darmanya.
Tersebut Sri Paduka telah mengendarai kereta
kencana. Tinggi lagi indah ditarik lembu yang tidak takut bahaya, menuju hutan
belantara, mengejar buruan ketakutan. Yang menjauhkan diri lari bercerai-berai
meninggalkan bangkai. Celeng. kaswari, rusa dan kelinci tinggal dalam
ketakutan. Sri Paduka berkuda mengejar yang riuh lari bercerai-berai.
Mahamantri Agung, tanda dan pujangga di punggung kuda turut memburu binatang
jatuh terbunuh tertombak, terpotong. tertusuk, tertikam. Tanahnya luas lagi
rata, hutannya rungkut di bawah terang. Itulah sebabnya kijang dengan mudah
dapat diburu kuda. Puaslah hati Sri Paduka sambil bersantap dihadap pendeta.
Bercerita tentang caranya berburu, menimbulkan gelak tawa. Terlangkahi betapa
narpati sambil berburu menyerap sari keindahan gunung dan hutan, kadang-kadang
kepayahan kembali ke rumah perkemahan.
Membawa wanita seperti cengkeraman, di hutan bagai
menggempur, negara tahu kejahatan satwa, beliau tak berdosa terhadap darma
ahimsa. Tersebut beliau bersiap akan pulang, rindu kepada keindahan pura.
Tatkala subakala berangkat menuju Banyu Hanget, Banir dan Talijungan. Bermalam
di Wedwawedan, siangnya menuju Kuwarahan, Celong dan Dadamar Garuntang, Pagar
Telaga, Pahanjangan, sampai di situ perjalanan beliau. Siangnya perjalanan
melalui Tambak, Rabut, Wayuha terus ke Balanak menuju Pandakan, Banaragi,
sampai Pandamayan beliau lalu bermalam Kembal! ke selatan, ke barat, menuju
Jejawar di kaki gunung berapi. Disambut penoton bersorak gembira, menyekar
sebentar di candi makam. Adanya candi pasareyan tersebut sudah sejak zaman
dahulu. Didirikan oleh Sri Kertanagara, moyang Sri Paduka Prabu. Di situ hanya
jenazah beliau sahaja yang dimakamkan. Karena beliau dulu memeluk dua agama
Siwa-Buda. Bentuk candi berkaki Siwa berpuncak Buda, sangat tinggi. Di dalamnya
terdapat arca Siwa, indah tak dapat dinilai. Dan arca Maha Aksobya bermahkota
tinggi tidak bertara. Namun telah hilang, memang sudah layak, tempatnya: di Nirwana.
Konon kabarnya tepat ketika arca Hyang Aksobya
hilang, ada pada Sri Paduka guru besar, mashur. Pada Paduka putus tapa, sopan
suci penganut pendeta Sakyamuni Telah terbukti bagai mahapendeta terpundi
sasantri. Senang berziarah ke tempat suci, bermalam dalam candi. Hormat
mendekati Hyang arca suci, khidmat berbakti sembah. Menimbul-kan iri di dalam
hati pengawas candi suci. Ditanya mengapa berbakti kepada arca dewa Siwa. Pada
Paduka menjelaskan sejarah candi pasareyan suci. Tentang adanya arca Aksobya
indah, dahulu di atas. Sepulangnya kembali lagi ke candi menyampaikan bakti.
Kecewa! tercengang memandang arca Maha Aksobya hilang. Tahun Saka 1253 itu
hilangnya arca. Waktu hilangnya halilintar menyambar candi ke dalam.
Benarlah kabuan pendeta besar bebas dari prasangka.
Bagaimana membangun kembali candi tua terbengkalai?. Tiada ternilai indahnya,
sungguh seperti surga turun. Gapura luar, mekala serta bangunannya serba
permai. Hiasan di dalamnya naga puspa yang sedang berbunga. Di sisinya lukisan
putri istana berseri-seri. Sementara Sri Paduka girang cengkerma menyerap
pemandangan. Pakis berserak sebar di tengah tebat bagai bulu dada. Ke timur
arahnya di bawah terik matahari Sri Paduka. Meninggalkan candi Pekalongan
girang ikut jurang curam. Tersebut dari Jajawa Sri Paduka berangkat ke desa
padameyan. Berhenti di Cunggrang, mencahari pemandangan, masuk hutan rindang.
Ke arah asrama para pertapa di lereng kaki gunung menghadap jurang. Luang
jurang ternganga-nganga ingin menelan orang yang memandang.
Habis menyerap pemandangan, masih pagi kereta telah
siap. Ke barat arahnya menuju gunung melalui jalannya dahulu. Tiba di
penginapan Japan, barisan tentara datang menjemput yang tinggal di pura iri
kepada yang gembira pergi menghadap. Pukul tiga itulah waktu Sri Paduka
bersantap bersama-sama. Paling muka duduk Sri Paduka lalu dua paman berturut
tingkat raja Matahun dan Paguhan bersama permaisuri agak jauhan. Di sisi Sri
Paduka, terlangkahi berapa lamanya bersantap. Paginya pasukan kereta Sri Paduka
berangkat lagi. Sang pujangga menyidat jalan ke Rabut, Tugu, Pengiring. Singgah
di Pahyangan, menemui kelompok sanak kadang. Dijamu sekadarnya, karena
kunjungannya mendadak. Banasara dan Sangkan Adoh tesah lama dilalui. Pukul dua
Sri Paduka telah sampai di perbatasan kota Sepanajng jalan berdesuk-desuk,
gajah, kuda, pedati. Kerbau, banteng dan prajurit darat sibuk berebut jalan.
Teratur rapi mereka berarak di dalam deretan. Narpati Pajang, permaisuri dan
pengiring paling muka. Di belakangnya tidak jauh, berikut Narpati Lasom.
Terlampau indah keretanya, menyilaukan yang
memandang. Rani Daha, rani Wengker semuanya urut belakang. Disusul rani Jiwana
bersama laki dan pengiring. Bagai penutup kereta Sri Paduka serombongan besar.
Diiring beberapa ribu perwira dan para mentri. Tersebut orang yang rapat rampak
menambak tepi jalan Berjejal ribut menanti kereta Sri Paduka berlintas.
Tergopoh-gopoh wanita ke pintu berebut tempat. Malahan ada yang lari telanjang
lepas sabuk kainnya. Yang jauh tempatnya, memanjat kekayu berebut tinggi. Duduk
berdesak-desak di dahan, tak pandang tua muda. Bahkan ada juga yang memanjat
batang kelapa kuning. Lupa malu dilihat orang, karena tepekur memandang.
Gemuruh dengung gong menampung Sri Paduka Prabu datang. Terdiam duduk merunduk
segenap orang di jalanan. Setelah raja lalu berarak pengiring di belakang.
Gajah. kuda, keledai, kerbau berduyun beruntun-runtun.
Yang berjalan rampak berarak-arak. Barisan pikulan
bejalan belakang. Lada, kesumba, kapas, buah kelapa. Buah pinang, asam dan
wijen terpikul. Di belakangnya pemikul barang berat. Sengkeyegan lambat
berbimbingan tangan. Kanan menuntun kirik dan kiri genjik. Dengan ayam itik di
keranjang merunduk. Jenis barang terkumpul dalam pikulan. Buah kecubung,
rebung, seludang, cempaluk. Nyiru, kerucut, tempayan, dulang, periuk. Gelaknya
seperti hujan panah jatuh. Tersebut Sri Paduka telah masuk pura. Semua bubar ke
rumah masing-masing. Ramai bercerita tentang hal yang lalu Membuat girang semua
sanak kadang. Waktu lalu Sri Paduka tak lama di istana. Tahun Saka 1282, Badra
pada. Beliau berangkat menuju Tirib dan Sempur. Nampak sangat banyak binatang
di dalam hutan. Tahun Saka 1283 Waisaka, Sri Paduka Prabu berangkat menyekar ke
Palah. Dan mengunjungi Jimbe untuk menghibur hati. Di Lawang Wentar, Blitar
menenteramkan cita. Dari Blitar ke selatan jalannya mendaki.
Pohonnya jarang, layu lesu kekurangan air. Sampai
Lodaya bermalam beberapa hari. Tertarik keindahan lautan, menyisir pantai.
Meninggalkan Lodaya menuju desa Simping. Ingin memperbaiki candi pasareyan
leluhur. Menaranya rusak, dilihat miring ke barat. Perlu ditegakkan kembali
agak ke timur. Perbaikan disesuaikan dengan bunyi prasati, yang dibaca lagi.
Diukur panjang lebarnya, di sebelah timur sudah ada tugu. Asrama Gurung-gurung
diambil sebagai denah candi makam. Untuk gantinya diberikan Ginting, Wisnurare
di Bajradara. Waktu pulang mengambil jalan Jukung, Inyanabadran terus ke timur.
Berhenti di Bajralaksmi dan bermalam di candi Surabawana. Paginya berangkat
lagi berhenti di Bekel, sore sampai pura Semua pengiring bersowang-sowang
pulang ke rumah masing-masing. Tersebut paginya Sri naranata dihadap para
mentri semua. Di muka para arya, lalu pepatih, duduk teratur di manguntur.
Patih amangkubumi Gajah Mada tampil ke muka sambil
berkata : “Sri Paduka akan melakukan kewajiban yang tak boleh diabaikan. Atas
Perintah sang rani Sri Tri Buwana Wijaya Tungga Dewi supaya pesta serada Sri
Padukapatni dilangsungkan Sri Paduka. Di istana pada tahun Saka 1284 bulan
Badrapada. Semua pembesar dan wreda Mahamantri Agung diharap memberi
sumbangan.” Begitu kata sang patih dengan ramah, membuat gembira. Sri Paduka
Sorenya datang para pendeta, para budiman, sarjana dan mentri. Yang dapat
pinjaman tanah dengan Ranadiraja sebagai kepala Bersama-sama membicarakan biaya
di hadapan Sri Paduka. Tersebut sebelum bulan Badrapada menjelang surutnya
Srawana. Semua pelukis berlipat giat menghias “tempat singa” di setinggil Ada
yang mengetam baki makanan, bokor-bokoran, membuat arca. Pandai emas dan perak
turut sibuk bekerja membuat persiapan. Ketika saatnya tiba tempat telah teratur
sangat rapi. Balai witana terhias indah di hadapan rumah-rumahan.
Satu di antaranya berkaki batu karang bertiang
merah. Indah dipandang semua menghadap ke arah takhta Sri Paduka. Barat,
mandapa dihias janur rumbai, tempat duduk para raja. Utara, serambi dihias berlapis
ke timur, tempat duduk. Para isteri, pembesar, Mahamantri Agung, pujangga.
Serta pendeta Selatan, beberapa serambi berhias bergas untuk abdi. Demikian
persiapan Sri Paduka memuja Buda Sakti. Semua pendeta Buda berdiri dalam
lingkaran bagai saksi. Melakukan upacara, dipimpin oleh pendeta Stapaka.
Tenang, sopan budiman faham tentang sastra tiga tantra. Umurnya melintasi
seribu bulan, masih belajar tutur. Tubuhnya sudah rapuh, selama upacara harus
dibantu. Empu dari Paruh selaku pembantu berjalan di lingkaran. Mudra, mantra
dan japa dilakukan tepat menurut aturan. Tanggal dua belas nyawa dipanggil dari
surga dengan doa. Disuruh kembali atas doa dan upacara yang sempurna. Malamnya
memuja arca bunga bagai penampung jiwa mulia. Dipimpin Dang Acarya, mengheningkan
cipta, mengucapkan puja.
Pagi purnamakala arca bunga dikeluarkan untuk
upacara. Gemuruh disambut dengan dengung salung, tambur, terompet serta
genderang. Didudukkan di atas singasana, besarnya setinggi orang berdiri
berderet beruntun-runtun semua pendeta tua muda memuja. Berikut para raja,
parameswari dan putra mendekati arca. Lalu para patih dipimpin Gajah Mada maju
ke muka berdatang sembah. Para bupati pesisir dan pembesar daerah dari empat
penjuru. Habis berbakti sembah, kembali mereka semua duduk rapi teratur. Sri
Nata Paguhan paling dahulu menghaturkan sajian makanan sedap Bersusun timbun
seperti pohon, dan sirih bertutup kain sutera Persembahan raja Matahun arca
banteng putih seperti lembu. Nandini. Terus menerus memuntahkan harta dan
makanan dari nganga mulutnya. raja Wengker mempersembahkan sajian berupa rumah
dengan taman bertingkat Disertai penyebaran harta di lantal balai besar
berhambur-hamburan.
Elok persembahan raja Tumapel berupa wanita cantik
manis Dipertunjukkan selama upacara untuk mengharu-rindukan hati. Paling haibat
persembahan Sri Paduka berupa gunung besar. Mandara Digerakkan oleh sejumlah
dewa dan danawa dahsyat menggusarkan pandang Ikan lambora besar
beriembak-lembak mengebaki kolam bujur lebar Bagaikan sedang mabuk diayun gelombang,
di tengah-tengah lautan besar. Tiap hari persajian makanan yang dipersembahkan
dibagi-bagi. Agar para wanita, Mahamantri Agung, pendeta dapat makanan
sekenyangnya Tidak terlangkahi para kesatria, arya dan para abdi di pura. Tak
putusnya makanan sedap nyaman diedarkan kepada bala tentara. Pada hari keenam
pagi Sri Paduka bersiap mempersembahkan persajian. Pun para kesatria dan
pembesar mempersembahkan rumah- rumahan yang terpikul.
Dua orang pembesar mempersembahkan perahu yang
melukiskan kutipan kidung. Seperahu sungguh besarnya, diiringi gong dan bubar
mengguntur menggembirakan. Esoknya patih mangkubumi Gajah Mada sore-sore
menghadap sambi menghaturkan. Sajian wanita sedih merintih di bawah nagasari
dibelit rajasa. Mahamantri Agung, arya, bupati, pembesar desa pun turut
menghaturkan persajian. Berbagai ragamnya, berduyun-duyun ada yang berupa
perahu, gunung, rumah, ikan. Sungguh-sungguh mengagumkan persembahan Sri Paduka
Prabu pada hari yang ketujuh. Beliau menabur harta, membagi-bagi bahan pakaian
dan hidangan, makanan. Luas merata kepada empat kasta, dan terutama kepada para
pendeta. Hidangan jamuan kepada pembesar, abdi dan niaga mengalir bagai air.
Gemeruduk dan gemuruh para penonton dari segenap arah, berdesak-sesak. Ribut
berebut tempat melihat peristiwa di balai agung serta para luhur. Sri Nata
menari di balai witana khusus untuk para putri dan para istri. Yang duduk rapat
rapi berimpit ada yang ngelamun karena tercengang memandang.
Segala macam kesenangan yang menggembirakan hati
rakyat diselenggarakan. Nyanyian, wayang, topeng silih berganti setiap hari
dengan paduan suara. Tari perang prajurit yang dahsyat berpukul-pukulan,
menimbulkan gelak-mengakak. Terutama derma kepada orang yang menderita
membangkitkan gembira rakyat. Pesta serada yang diselenggarakan serba meriah
dan khidmat. Pasti membuat gembira jiwa Sri Padukapatni yang sudah mangkat.
Semoga beliau melimpahkan barkat kepada Sri Paduka Prabu Sehingga jaya terhadap
musuh selama ada bulan dan surya. Paginya pendeta Buda datang menghormati,
memuja dengan sloka. Arwah Prajnyaparamita yang sudah berpulang ke Budaloka.
Segera arca bunga diturunkan kembali dengan upacara. Segala macam makanan
dibagikan kepada segenap abdi. Lodang lega rasa Sri Paduka melihat perayaan
langsung lancar. Karya yang masih menunggu, menyempurnakan candi di Kamal
Pandak. Tanahnya telah disucikan tahun 1274. Dengan persajian dan puja kepada
Brahma oleh Jnyanawidi.
Demikian sejarah Kamal menurut tutur yang
dipercaya. Dan Sri Nata Panjalu di Daha, waktu bumi Jawa dibelah. Karena cinta
Sinuwun Prabu Airlangga kepada dua putranya. Ada pendeta Budamajana putus dalam
tantra dan yoga. Diam di tengah kuburan lemah Citra, jadi pelindung rakyat.
Waktu ke Bali berjalan kaki, tenang menapak di air lautan. Hyang Empu Barada
nama beliau, faham tentang tiga zaman. Girang beliau menyambut permintaan
Airlangga membelah negara. Tapal batas negara ditandai air kendi mancur dari
langit. Dari barat ke timur sampai laut, sebelah utara, selatan. Yang tidak
jauh, bagaikan dipisahkan oleh samudera besar. Turun dari angkasa sang pendeta
berhenti di pohon asam. Selesai tugas kendi suci ditaruhkan di dusun Palungan.
Marah terhambat pohon asam tinggi yang puncaknya mengait jubah.
Mpu Barada terbang lagi, mengutuk asam agar jadi
kerdil. Itulah tugu batas gaib, yang tidak akan mereka lalui. Itu pula sebabnya
dibangun candi, memadu Jawa lagi. Semoga Sri Paduka serta rakyat tetap tegak,
teguh, waspada. Berjaya dalam memimpin negara, yang sudah bersatu padu. Prajnya
Paramita Puri itulah nama candi pasareyan yang dibangun. Arca Sri Padukapatni
diberkahi oleh Sang pendeta Jnyanawidi. Telah lanjut usia, faham akan tantra,
menghimpun ilmu agama, laksana titisan Empu Barada, menggembirakan hati Sri
Paduka. Di Bayalangu akan dibangun pula candi pasareyan Sri Padukapatni.
Pendeta Jnyanawidi lagi yang ditugaskan memberkahi tanahnya. Rencananya telah
disetujui oleh sang Mahamantri Agung demung. Boja Wisesapura namanya, jika
candi sudah sempurna dibangun. Candi pasareyan Sri Padukapatni tersohor sebagai
tempat keramat. Tiap bulan Badrapada disekar oleh para Mahamantri Agung dan
pendeta. Di tiap daerah rakyat serentak membuat peringatan dan memuja. Itulah
suarganya, berkat berputra, bercucu narendra utama.
Tersebut pada tahun Saka 1285, Sri Paduka menuju
Simping demi pemindahan candi makam. Siap lengkap segala persajian tepat
menurut adat. Pengawasnya Rajaparakrama memimpin upacara. Faham tentang
tatwopadesa dan kepercayaan Siwa. Memangku jabatannya semenjak mangkat Kerta
Rajasa. Ketika menegakkan menara dan mekala gapura. Bangsawan agung Arya Krung,
yang diserahi menjaganya. Sekembalinya dari Simping segera masuk ke pura.
Terpaku mendengar AdiMahamantri Agung Gajah Mada gering. Pernah mencurahkan
tenaga untuk keluhuran Jawa. Di pulau Bali serta kota Sadeng memusnahkan musuh.
Tahun Saka 1253 beliau mulai memikul tanggung jawab. Tahun 1286 Saka beliau
mangkat, Sri Paduka gundah, terharu bahkan putus asa.
Sang dibyacita Gajah Mada cinta kepada sesama tanpa
pandang bulu. Insaf bahwa hidup ini tidak baka karenanya beramal tiap hari. Sri
Paduka segera bermusyawarah dengan kedua rama serta bunda. Kedua adik dan kedua
ipar tentang calon pengganti Ki Patih Mada. Yang layak akan diangkat hanya
calon yang sungguh mengenal tabiat rakyat. Lama timbang-menimbang, tetapi
seribu sayang tidak ada yang memuaskan. Sri Paduka berpegang teguh,
AdiMahamantri Agung Gajah Mada tak akan diganti. Bila karenanya timbul
keberatan beliau sendiri bertanggung jawab. Mernilih enam Mahamantri Agung yang
menyampaikan urusan negara ke istana. Mengetahui segala perkara, sanggup tunduk
kepada pimpinan. Sri Paduka. Itulah putusan rapat tertutup. Hasil yang
diperoleh perundingan. Terpilih sebagai wredaMahamantri Agung. Karib Sri Paduka
bernama Empu Tandi. Penganut karib Sri Baginda. Pahlawan perang bernama Empu
Nala. Mengetahui budi pekerti rakyat.
Mancanegara bergelar tumenggung. Keturunan orang
cerdik dan setia. Selalu memangku pangkat pahlawan. Pernah menundukkan negara
Dompo. Serba ulet menanggulangi musuh. Jumlahnya bertambah dua Mahamantri
Agung. Bagai pembantu utama Sri Paduka. Bertugas mengurus soal perdata. Dibantu
oleh para upapati. Empu Dami menjadi Mahamantri Agung muda. Selalu ditaati di
istana. Empu Singa diangkat sebagai saksi. Dalam segala perintah Sri Paduka.
Demikian titah Sri Baginda. Puas, taat teguh segenap rakyat. Tumbuh tambah hari
setya baktinya. Karena Sri Paduka yang memerintah. Sri Paduka makin keras
berusaha untuk dapat bertindak lebih. Dalam pengadilan tidak serampangan, tapi
tepat mengikut undang-undang. Adil segala keputusan yang diambil, semua pihak
merasa puas. Mashur nama beliau, mampu menembus jaman, sungguhlah titiaan
batara. Candi pasareyan serta bangunan para leluhur sejak zaman dahulu kala.
Yang belum siap diselesaikan, dijaga dan dibina dengan saksama.
Yang belum punya prasasti, disuruh buatkan Serat
Kekancingan pada ahli sastra. Agar kelak jangan sampai timbul perselisihan,
jikalau sudah temurun. Jumlah candi pasareyan raja seperti berikut, mulai
dengan Kagenengan. Disebut pertama karena tertua : Tumapel, Kidal, Jajagu, Wedwawedan.
Di Tuban, Pikatan, Bakul, Jawa-jawa, Antang Trawulan, Katang Brat dan Jago.
Lalu Balitar, Sila Petak, Ahrit, Waleri, Bebeg, Kukap, Lumbang dan Puger.
pasareyan rani : Kamal Pandak, Segala, Simping. Sri Ranggapura serta candi Budi
Kuncir. Bangunan baru Prajnya Paramita Puri. Di Bayatangu yang baru saja
dibangun. Itulah dua puluh tujuh candi raja. Pada Saka tujuh guru candra (1287)
bulan Badra. Dijaga petugas atas perintah raja. Diawasi oleh pendeta ahli
sastra. Pembesar yang bertugas mengawasi seluruhnya sang Wiradikara.
Orang utama, yang saksama dan tawakal membina semua
candi. Setia kepada Sri Paduka, hanya memikirkan kepentingan bersama Segan
mengambil keuntungan berapa pun penghasilan candi makam. Desa-desa perdikan
ditempatkan di bawah perlindungan Sri Paduka. Darmadyaksa kasewan bertugas
membina tempat ziarah dan pemujaan. Darmadyaksa kasogatan disuruh menjaga biara
kebudaan. Mahamantri Agung her-haji bertugas memelihara semua pertapan. Desa
perdikan Siwa yang bebas dari pajak : biara relung Kunci, Kapulungan Roma,
Wwatan, Iswaragreha, Palabdi, Tanjung, Kutalamba, begitu pula Taruna
Parhyangan, Kuti Jati, Candi lima, Nilakusuma, Harimandana, Utamasuka
Prasada-haji, Sadang, Panggumpulan, Katisanggraha, begitu pula Jayasika. Tak
ketinggalan: Spatika, Yang Jayamanalu, Haribawana, Candi Pangkal, Pigit
Nyudonta, Katuda, Srangan, Kapukuran, Dayamuka, Kalinandana, Kanigara Rambut,
Wuluhan, Kinawung, Sukawijaya, dan lagi Kajaha, demikian pula Campen,
Ratimanatasrama, Kula, Kaling, ditambah sebuah lagi Batu Putih.
Desa perdikan kasogatan yang bebas dari pajak :
Wipulahara, Kutahaji Janatraya, Rajadanya, Kuwanata, Surayasa, Jarak, Lagundi
serta Wadari Wewe Pacekan, Pasaruan, Lemah Surat, Pamanikan, Srangan serta
Pangiketan Panghawan, Damalang, Tepasjita, Wanasrama, Jenar, Samudrawela dan
Pamulang. Baryang, Amretawardani, Wetiwetih. Kawinayan, Patemon serta Kanuruhan
Engtal, Wengker. Banyu Jiken, Batabata. Pagagan, Sibok dan Engtal. Wengker,
Banyu Jiken, Batabata. Pagagan, Sibok dan Padurungan. Pindatuha, Telang,
Suraba, itulah yang terpenting, sebuah lagi. Sukalila Tak disebut perdikan
tambahan seperti Pogara. Kulur, Tangkil dan sebagainya. Selanjutnya disebut
berturut desa kebudaan Bajradara : Isanabajra, Naditata, Mukuh, Sambang,
Tanjung. Amretasaba Bangbang, Bodimula, Waharu Tampak, serta Puruhan dan Tadara
Tidak juga terlangkahi Kumuda. Ratna serta Nadinagara. Wungaiaya, Palandi,
Tangkil.
Asahing, Samici serta Acitahen Nairanjana,
Wijayawaktra, Mageneng. Pojahan dan Balamasin. Krat, Lemah Tulis,
Ratnapangkaya, Panumbangan. serta Kahuripan Ketaki, Telaga Jambala, Jungul
ditambah lagi Wisnuwala. Badur, Wirun, Wungkilur. Mananggung, Watukura serta
Bajrasana Pajambayan. Salanten, Simapura, Tambak Laleyan, Pilanggu Pohaji,
Wangkali, Biru. Lembah, Dalinan, Pangadwan yang terakhir. Itulah desa kebudaan
Bajradara yang sudah berprasasti. Desa keresian seperti berikut : Sampud, Rupit
dan Pilan Pucangan, Jagadita, Pawitra, masih sebuah lagi Butun. Di situ
terbentang taman didirikan lingga dan saluran air. Yang Mulia Mahaguru demiklan
sebutan beliau. Yang diserahi tugas menjaga sejak dulu menurut Serat
Kekancingan. Selanjutnya desa perdikan tanpa candi, di antaranya yang penting :
Bangawan, Tunggal, Sidayatra, Jaya Sidahajeng, Lwah Kali dan Twas. Wasista,
Palah, Padar, Siringan, itulah desa perdikan Siwa.
Wangjang, Bajrapura. Wanara, Makiduk, Hanten, Guha
dan Jiwa Jumpud. Soba, Pamuntaran, dan Baru, perdikan Buda utama. Kajar, Dana
Hanyar, Turas, Jalagiri, Centing, Wekas Wandira, Wandayan. Gatawang :
Kulampayan dan Talu, pertapan resi. Desa perdikan Wisnu berserak di Batwan
serta Kamangsian Batu Tanggulian. Dakulut, Galuh, Makalaran, itu yang penting
Sedang, Medang. Hulun Hyan, Parung, langge, Pasajan, Kelut. Andelmat Paradah,
Geneng, Panggawan, sudah sejak lama bebas pajak. Terlewati segala dukuh yang
terpencar di seluruh Jawa. Begitu pula asrama tetap yang bercandi serta yang
tidak. Yang bercandi menerima bantuan tetap dari Sri Paduka Prabu. Begitu juga
dukuh pengawas, tempat belajar upacara.
Telah diteliti sejarah berdirinya segala desa di
Jawa. Perdikan candi, tanah pusaka, daerah dewa, biara dan dukuh. Yang berSerat
Kekancingan dipertahankan, yang tidak, segera diperintahkan. Pulang kepada
dewan desa di hadapan Sang Arya Ranadiraja. Segenap desa sudah diteliti menurut
perintah raja Wengker raja Singasari bertitah mendaftar jiwa serta seluk
salurannya. Petugas giat menepati perintah, berpegang kepada aturan Segenap
penduduk Jawa patuh mengindahkan perintah Sri Paduka Prabu. Semua tata aturan
patuh diturut oleh pulau Bali. Candi, asrama, pesanggrahan telah diteliti
sejarah tegaknya Pembesar kebudaan Badahulu. Badaha lo Gajah ditugaskan.
Membina segenap candi, bekerja rajin dan mencatat semuanya. Perdikan kebudaan
Bali seperti berikut, biara Baharu (hanyar). Kadikaranan, Purwanagara,
Wiharabahu, Adiraja, Kuturan. Itulah enam kebudaan Bajradara, biara
kependetaan. Terlangkahi biara dengan bantuan negara seperti Aryadadi. Berikut
candi pasareyan di Bukit Sulang lemah lampung, dan Anyawasuda Tatagatapura,
Grehastadara, sangat mashur, dibangun atas Serat Kekancingan. Pada tahun Saka
1260 oleh Sri Paduka Jiwana.
Yang memberkahi tanahnya, membangun candinya : upasaka
wreda mentri. Semua perdikan dengan bukti prasasti dibiarkan tetap berdiri.
Terjaga dan terlindungi segala bangunan setiap orang budiman. Demikianlah
tabiat raja utama, berjaya, berkuasa, perkasa. Semoga kelak para raja sudi
membina semua bangunan suci. Maksudnya agar musnah semua durjana dari muka bumi
laladan. Itulah tujuan melintas, menelusur dusun-dusun sampai di tepi laut.
Menenteramkan hati pertapa, yang rela tinggal di pantai, gunung dan hutan. Lega
bertapa brata dan bersamadi demi kesejahteraan negara. Besarlah minat Sri
Paduka untuk tegaknya tripaksa. Tentang Serat Kekancingan beliau besikap agar
tetap diindahkan. Begitu pula tentang pengeluaran undang-undang, supaya laku
utama, tata gila dan adat-tutur diperhatikan. Itulah sebabnya sang caturdwija
mengejar laku utama. Resi, Wipra, pendeta Siwa Buda teguh mengindahkan tutur.
Catur asrama terutama catur basma tunduk rungkup
tekun melakukan tapa brata, rajin mempelajari upacara. Semua anggota empat
kasta teguh mengindahkan ajaran. Para Mahamantri Agung dan arya pandai membina
urusan negara. Para putri dan satria berlaku sopan, berhati teguh. Waisya dan
sudra dengan gembira menepati tugas darmanya. Empat kasta yang lahir sesuai
dengan keinginan. Hyang Maha Tinggi Konon tunduk rungkup kepada kuasa dan
perindah Sri Paduka Teguh tingkah tabiatnya, juga ketiga golongan terbawah.
Gandara, Mleca dan Tuca mencoba mencabut cacad-cacadnya. Demikianlah tanah Jawa
pada zaman pemerintahan Sri Nata. Penegakan bangunan-bangunan suci membuat
gembira rakyat Sri Paduka menjadi teladan di dalam menjalankan enam darma. Para
ibu kagum memandang, setuju dengan tingkah laku Sang Prabu. Sri Nata Singasari
membuka ladang luas di daerah Sagala. Sri Nata Wengker membuka hutan Surabana,
Pasuruan, Pajang.
Mendirikan perdikan Buda di Rawi, Locanapura,
Kapulungan Sri Paduka sendiri membuka ladang Watsari di Tigawangi. Semua
Mahamantri Agung mengenyam tanah palenggahan yang cukup luas Candi, biara dan
lingga utama dibangun tak ada putusnya. Sebagai tanda bakti kepada dewa, leluhur,
para pendeta. Memang benar budi luhur tertabur mengikuti jejak Sri Nata.
Demikianlah keluhuran Sri Paduka ekanata di Wilwatikta. Terpuji bagaikan bulan
di musim gugur, terlalu indah terpandang Durjana laksana tunjung merah, sujana
seperti teratai putih. Abdi, harta, kereta, gajah, kuda berlimpah-limpah bagai
samudera. Bertambah mashur keluhuran pulau Jawa di seluruh jagad raya. Hanya
Jambudwipa dan pulau Jawa yang disebut negara utama Banyak pujangga dan dyaksa
serta para upapati, tujuh jumlahnya Panji Jiwalekan dan Tengara yang meronjol
bijak di dalam kerja. Mashurlah nama pendeta Brahmaraja bagai pujangga, ahli
tutur.
Putus dalam tarka, sempurna dalam seni kata serta
ilmu naya Hyang brahmana, sopan, suci, ahli weda menjalankan nam laku utama
Batara Wisnu dengan cipta dan mentera membuat sejahtera negara. Itulah sebabnya
berduyun-duyun tamu asing datang berkunjung Dari Jambudwipa, Kamboja, Cina,
Yamana, Campa dan Karnataka Goda serta Siam mengarungi lautan bersama para
pedagang Resi dan pendeta, semua merasa puas, menetap dengan senang. Tiap bulan
Palguna Sri Nata dihormat di seluruh negara. Berdesak-desak para pembesar,
empat penjuru, para prabot desa Hakim dan pembantunya, bahkan pun dari Bali
mengaturkan upeti. Pekan penuh sesak pembeli, penjual, barang terhampar di
dasaran. Berputar keliling gamelan dalam tanduan diarak rakyat ramai Tiap
bertabuh tujuh kali, pembawa sajian menghadap ke pura Korban api, ucapan mantra
dilakukan para pendeta Siwa-Buda. Mulai tanggal delapan bulan petang demi
keselamatan Sri Paduka.
Tersebut pada tanggal empatbelas bulan petang. Sri
Paduka berkirap. Selama kirap keliling kota busana. Sri Paduka serba kencana.
Ditatatng jempana kencana, panjang berarak beranut runtun. Mahamantri Agung,
sarjana, pendeta beriring dalam pakaian seragam. Mengguntur gaung gong dan
salung, disambut terompet meriah sahut-menyahut Bergerak barisan pujangga
menampung beliau dengan puja sloka. Gubahan kawi raja dari pelbagai kota dari
seluruh Jawa. Tanda bukti Sri Paduka perwira bagai Rama, mulia bagai Sri
Kresna. Telah naik Sri Paduka di takhta mutu-manikam, bergebar pancar sinar.
Seolah-olah Hyang Trimurti datang mengucapkan puji astuti. Yang nampak, semua
serba mulia, sebab Sri Paduka memang raja agung. Serupa jelmaan. Sang
Sudodanaputra dari Jina bawana. Sri nata Pajang dengan sang permaisuri berjalan
paling muka. Lepas dari singasana yang diarak pengiring terlalu banyak.
Mahamantri Agung Pajang dan Paguhan serta pengiring
jadi satu kelompok. Ribuan jumlahnya, berpakaian seragam membawa panji dan tunggul.
raja Lasem dengan permaisuri serta pengiring di belakangnya. Lalu raja Kediri
dengan permaisuri serta Mahamantri Agung dan tentara. Berikut maharani Jiwana
dengan suami dan para pengiring. Sebagai penutup Sri Paduka dan para pembesar
seluruh Jawa. Penuh berdesak sesak para penonton ribut berebut tempat. Di tepi
jalan kereta dan pedati berjajar rapat memanjang. Tiap rumah mengibarkan
bendera, dan panggung membujur sangat panjang. Penuh sesak wanita tua muda,
berjejal berimpit-impitan. Rindu sendu hatinya seperti baru pertama kali
menonton. Terlangkahi peristiwa pagi, waktu Baginda mendaki setinggil. Pendeta
menghaturkan kendi berisi air suci di dulang berukir. Mahamantri Agung serta
pembesar tampil ke muka menyembah bersama-sama. Tanggal satu bulan Caitra bala
tentara berkumpul bertemu muka. Mahamantri Agung, perwira, para arya dan
pembantu raja semua hadir.
Kepala daerah, ketua desa, para tamu dari luar
kota. Begitu pula para kesatria, pendeta dan brahmana utama. Maksud pertemuan
agar para warga mengelakkan watak jahat. Tetapi menganut ajaran raja Kapa Kapa,
dibaca tiap Caitra. Menghindari tabiat jahat, seperti suka mengambil milik
orang. Memiliki harta benda dewa, demi keselamatan masyarakat. Dua hari
kemudian berlangsung perayaan besar. Di utara kota terbentang lapangan bernama
Bubat. Sering dikunjungi Sri Paduka, naik tandu bersudut Singa. Di arak abdi
berjalan, membuat kagum tiap orang. Bubat adalah lapangan luas lebar dan rata.
Membentang ke timur setengah krosa sampai jalan raya. Dan setengah krosa ke
utara bertemu.tebing sungai. Dikelilingi bangunan Mahamantri Agung di dalam
kelompok. Menjulang sangat tinggi bangunan besar di tengah padang. Tiangnya
penuh berukir dengan isi dongengan parwa. Dekat di sebelah baratnya bangunan
serupa istana.
Tempat menampung Sri Paduka di panggung pada bulan
Caitra. Panggung berjajar membujur ke utara menghadap barat. Bagian utara dan
selatan untuk raja dan arya. Para Mahamantri Agung dan dyaksa duduk teratur
menghadap timur. Dengan pemandangan bebas luas sepanjang jalan raya. Di situlah
Sri Paduka memberi rakyat santapan mata. Pertunjukan perang tanding, perang
pukul. desuk-mendesuk Perang keris, adu tinju tarik tambang, menggembirakan.
Sampai tiga empat hari lamanya baharu selesai. Seberangkat Sri Paduka. sepi lagi,
panggungnya dibongkar. Segala perlombaan bubar, rakyat pulang bergembira. Pada
Caitra bulan petang Sri Paduka menjgmu para pemenang. Yang pulang menggondol
pelbagai hadiah bahan pakaian. Segenap ketua desa dan wadana tetap tinggal,
paginya mereka. Dipimpin Arya Ranadikara menghadap Sri Paduka minta diri di
pura Bersama Arya Mahadikara, kepala pancatanda dan padelegan. Sri Paduka duduk
di atas takhta, dihadap para abdi dan pembesar.
Berkatalah Sri nata Wengker di hadapan para
pembesar dan wedana : “Wahai, tunjukkan cinta serta setya baktimu kepada Sri
Paduka Prabu Cintailah rakyat bawahanmu dan berusahalah memajukan dusunmu
Jembatan, jalan raya, beringin, bangunan dan candi supaya dibina. Terutama
dataran tinggi dan sawah, agar tetap subur, peliharalah Perhatikan tanah rakyat
jangan sampai jatuh di tangan petani besar. Agar penduduk jangan sampai terusir
dan mengungsi ke desa tetangga. Tepati segala peraturan untuk membuat desa
bertambah besar. Sri nata Kerta Wardana setuju dengan anjuran memperbesar desa.
Harap dicatat nama penjahat dan pelanggaran setiap akhir bulan. Bantu
pemeriksaan tempat durjana terutama pelanggar susila.
Agar bertambah kekayaan Sri Paduka demi
kesejahteraan negara. Kemudian bersabda Sri Baginda Wilwatikta memberi anjuran
: “Para budiman yang berkunjung kemari, tidak boleh dihalang-halangi. Rajakarya
terutama bea-cukai, pelawang supaya dilunasi. Jamuan kepada para tetamu budiman
supaya diatur pantas. Undang-undang sejak pemerintahan ibunda harus ditaati.
Hidangan makanan sepanjang hari harus dimasak pagi-pagi. Jika ada tamu loba
tamak mengambil makanan, merugikan. Biar mengambilnya, tetapi laporkan namanya
kepada saya. Negara dan desa berhubungan rapat seperti singa dan hutan. Jika
desa rusak, negara akan kekurangan bahan makanan. Kalau tidak ada tentara,
negara lain mudah menyerang kita. Karenanya peliharalah keduanya, itu perintah
saya “
Begitu perintah Sri Paduka kepada wadana, yang
tunduk mengangguk Sebagai tanda mereka sanggup mengindahkan perintah beliau.
Mahamantri Agung upapati serta para pembesar menghadap bersama. Tepat pukul
tiga mereka berkumpul untuk bersantap bersama. Bangunan sebelah timur laut
telah dihiasi gilang cemerlang. Di tiga ruang para wadana duduk teratur
menganut sudut. Santapan sedap mulai dihidangkan di atas dulang serba emas
Segera deretan depan berhadap-hadapan di muka Sri Paduka. Santapan terdiri dari
daging kambing, kerbau, burung, rusa, madu, Ikan, telur, domba menurut adat
agama dari zaman purba. Makanan pantangan : daging anjing, cacing, tikus,
keledai dan katak. Jika dilanggar mengakibatkan hinaan musuh, mati dan noda.
Dihidangkan santapan untuk orang banyak. Makanan serba banyak serta serba
sedap. Berbagai-bagai ikan laut dan ikan tambak. Berderap cepat datang menurut
acara. Daging katak, cacing, keledai, tikus, anjing. Hanya dihidangkan kepada
para penggemar. Karena asalnya dari pelbagai desa.
Mereka diberi kegemaran, biar puas. Mengalir
pelbagai minuman keres segar. Tuak nyiur, tal, arak kilang, brem, tuak rumbya.
Itulah hidangan yang utama. Wadahnya emas berbentuk aneka ragam. Porong dan
guci berdiri terpencar-pencar. Berisi aneka minuman keras dari aneka bahan.
Beredar putar seperti air yang mengelir. Yang gemar minum sampai muntah serta
mabuk. Meluap jamuan Sri Paduka dalam pesta. Hidangan mengalir menghampiri
tetamu. Dengan sabar segala sikap dizinkan. Penyombong, pemabuk jadi buah gelak
tawa. Merdu merayu nyanyian para biduan. Melagukan puji-pujian Sri Paduka.
Makin deras peminum melepaskan nafsu. Habis lalu waktu, berhenti gelak gurau.
Pembesar daerah angin membadut dengan para lurah.
Diikuti lagu, sambil bertandak memilih pasangan. Seolah tingkahnya menarik
gelak, menggelikan pandangan. Itulah sebabnya mereka memperoleh hadiah kain.
Disuruh menghadap Sri Paduka, diajak minum bersama. Mahamantri Agung upapati
berurut mengelir menyanyi. Nyanyian Menghuri Kandamuhi dapat bersorak pujian.
Sri Paduka berdiri, mengimbangi ikut melaras lagu. Tercengang dan terharu
hadirin mendengar suar merdu. Semerebak meriah bagai gelak merak di dahan kayu.
Seperti madu bercampur dengan gula terlalu sedap manis. Resap menghalu kalbu
bagai desiran buluh perindu. Arya Ranadikara lupa bahwa Sri Paduka berlagu.
Bersama Arya Ranadikara mendadak berteriak. Bahwa para pembesar ingin belia
menari topeng. “Ya!” jawab beliau, segera masuk untuk persiapan.
Sri Kerta Wardana tampil kedepan menari panjak.
Bergegas lekas panggung di siapkan ditengah mandapa. Sang permaisuri berhias
jamang laras menyanyikan lagu. Luk suaranya mengharu rindu, tinglahnya memikat
hati. Bubar mereka itu ketika Sri Paduka keluar. Lagu rayuan Sri Paduka
bergetar menghanyutkan rasa. Diiringkan rayuan sang permaisuri rapi rupendah.
Resap meremuk rasa, merasuk tulang sungsum pendengar. Sri Paduka warnawan telah
mengenakan tampuk topeng. Delapan pengirignya di belakang, bagus, bergs,
pantas. Keturunan Arya, bijak cerdas, sopan tingkah lakunya. Itulah sebabnya
benyolannya selalu kena. Tari sembilan orang telah dimulai dengan banyolan.
Gelak tawa terus menerus, sampai perut kaku beku. Babak yang sedih meraih
tangis, mengaduk haru dan rindu. Tepat mengenai sasaran, menghanyutkan hati
penonton. Silam matahari waktu lingsir, perayaan berakhir. Para pembesar
meminta diri mencium duli paduka. Katanya :”lenyap duka oleh suka, hilang dari
bumi!”. Terlangkahi pujian Sri Paduka waktu masuk istana.
Demikianlah suka mulia Sri Paduka Prabu di pura,
tercapai segala cita. Terang Sri Paduka sangat memperhatikan kesejahteraan
rakyat dan negara. Meskipun masih muda dengan suka rela berlaku bagai titisan
Buda. Dengan laku utama beliaumemadamkan api kejahatan durjana. Terus
membumbung ke angkasa kemashuran dan keperwiraan Sri Paduka. Sungguh beliau
titisan Batara Girinata untuk menjaga buana. Hilang dosanya orang yang
dipandang, dan musnah letanya abdi yang disapa. Itulah sebabnya keluhuran
beliau mashur terpuji di tiga jagad. Semua orang tinggi, sedang, rendah
menuturkan kata-kata pujian. Serta berdo’a agar Sri Paduka tetap subur bagai
gunung tempat berlindung. Berusia panjang sebagai bulan dan matahari cemerlang
menerangi bumi.
Semua pendeta dari tanah asing menggubah pujian Sri
Paduka. Sang pendeta Budaditya menggubah rangkaian seloka Bogawali. Tempat
tumpah darahnya Kancipuri di Sadwihara di Jambudwipa. Brahmana Sri Mutali
Saherdaya menggubah pujian seloka indah. Begitu pula para pendeta di Jawa,
pujangga, sarjana sastra. Bersama-sama merumpaka seloka puja sastra untuk nyanyian.
Yang terpenting puja sastra di prasasti, gubahan upapati Sudarma. Berupa
kakawin, hanya boleh diperdengarkan di dalam istana. Mendengar pujian para
pujangga pura bergetar mencakar udara. Empu Prapanca bangkit turut memuji Sri
Paduka meski tak akan sampai pura.
Maksud pujiannya, agar Sri Paduka gembira jika
mendengar gubahannya. Berdoa demi kesejahteraan negara, terutama Sri Paduka dan
rakyat. Tahun Saka 1287 bulan Aswina hari purnama. Siaplah kakawin pujaan
tentang perjalanan jaya keliling negara. Segenap desa tersusun dalam rangkaian,
pantas disebut Desa Warnana. Dengan maksud, agar Sri Paduka ingat jika membaca
hikmat kalimat. Sia-sia lama bertekun menggubah kakawin menyurat di atas daun
lontar.
Yang pertama “Tahun Saka”, yang kedua “Lambang”
kemudian “Parwasagara”. Berikut yang keempat “Bismacarana”, akhirnya cerita
“Sugataparwa”. Lambang dan Tahun Saka masih akan diteruskan, sebab memang belum
siap. Meskipun tidak semahir para pujangga di dalam menggubah kakawin.
Terdorong cinta bakti kepada Sri Paduka, ikut membuat puja sastra berupa karya
kakawin, sederhana tentang rangkaian sejarah desa. Apa boleh buat harus
berkorban rasa, pasti akan ditertawakan.
Nasib badan dihina oleh para bangsawan, canggung
tinggal di dusun. Hati gundah kurang senang, sedih, rugi tidak mendengar ujar
manis. Teman karib dan orang budiman meninggalkan tanpa belas kasihan. Apa
gunanya mengenal ajaran kasih, jika tidak diamalkan? Karena kemewahan
berlimpah, tidak ada minat untuk beramal. Buta, tuli, tak nampak sinar memancar
dalam kesedihan, kesepian. Seyogyanya ajaran sang Begawan diresapkan bagai
sepegangan. Mengharapkan kasih yang tak kunjung datang, akan membawa mati muda.
Segera bertapa brata di lereng gunung, masuk ke dalam hutan. Membuat rumah dan
tempat persajian di tempat sepi dan bertapa. Halaman rumah ditanami pohon
kamala, asana, tinggi-tinggi. Memang Kamalasana nama dukuhnya sudah sejak lama
dikenal.
Prapanca itu pra lima buah. Cirinya: cakapnya lucu.
Pipinya sembab, matanya ngeliyap. Gelaknya terbahak-bahak. Terlalu kurang ajar,
tidak pantas ditiru. Bodoh, tak menurut ajaran tutur. Carilah pimpinan yang
baik dalam tatwa. Pantasnya ia dipukul berulang kali. Ingin menyamai Empu
Winada. Mengumpulkan harta benda. Akhirnya hidup sengsara. Tapi tetap tinggal
tenang. Winada mengejar jasa. Tanpa ragu wang dibagi. Terus bertapa berata.
Mendapat pimpinan hidup. Sungguh handal dalam yuda. Yudanya belum selesai.
Ingin mencapai nirwana. Jadi pahlawan pertapa.
Beratlah bagi para pujangga menyamai Winada,
bertekun dalam tapa. Membalas dengan cinta kasih perbuatan mereka yang senang
menghina orang-orang yang puas dalam ketetnangan dan menjauhkan diri dari
segala tingkah, menjauhkan diri dari kesukaan dan kewibawaan dengan harapan
akan memperoleh faedah. Segan meniru perbuatan mereka yang dicacad dan dicela
di dalam pura.
2 comments:
Admin..x paham laaa apa yg nak disampaikan....acu terang cikit...boleh??
:) Asalnya terjemahan kitab ini kita peroleh daripada satu blog dari Indonesia. Kita post disini sebagai rujukan kita untuk kajian tentang Majapahit.
Hingga kini, kajian tentang Majapahit masih belum dilaksanakan kerana kajian kita masih "lekat" di Zaman Sriwijaya.
Sebetulnya isi Kitab Neagara Kertagama ini adalah dalam Bahasa Jawa namun ia telah ditejemahkan kepada Bahasa Indonesia yang mudah untuk kita di Malaysia memahaminya.
Kitab ini adalah berkenaan kekuasaan Majapahit yang telah menakluk Nusantara hingga nama Kelantan pun tercatat juga dalam kitab ini.
Justeru, kerana nama Kelantan juga tercatat Kitab ini, kita rasa terpanggil utk melakukan satu kajian tentang hubungan Majapahit dengan Kelantan kerana kita amat dekat denga Jawa dari segi bahasa, pakaian dan juga makanan.
Kita akan teruskan kajian ini, namun bergantung kepada masa dan ruang yang kita ada....
Post a Comment